Cerpen Romantis Bahasa Indonesia
3,05
“Tulisanmu bagus,” bibirku melengkung manis. Sesaat ketika kudengar pujian itu menyapu pori-pori telingaku. Aku menolehnya. Senyumnya yang menawan itu tak kunjung luntur. “Tentu saja, Kak! Tidak seperti tulisanmu yang buruk itu.” Aku balas mengejeknya. Kini bibirnya melengkung ke bawah. Cemberut.
Dan begitulah kami. Kami, yang secara tak sengaja bertemu. Bertemu di bangku ujian untuk mengerjakan soal-soal yang bahkan tak pernah dipelajari sekalipun. Dia kakak kelasku. Yang diabsenkan oleh guru, menjadi pemilik tempat duduk nomor tiga koma nol lima. Lalu datanglah aku. Sebagai tempatnya mengeluh ketika sebuah soal hampir memusnahkan akal sehatnya. Dan dia, adalah orang pertama yang akan kutanya, ketika sebuah tanya pada kertas milikku tak ada jawabnya. Meskipun jawab darinya adalah nihil.
Tiga hari berikutnya berlalu. Dan tiga hari sebelumnya kulewati senja-senja yang jelita bersamanya. Ceria, walaupun kadang keceriaan itu sering terlupakan oleh kebingungan yang tak berujung. Dan pertanyaan yang entah apa jawabannya.
Setelah tiga hari itu berlalu, kupikir perkenalan kami juga berlalu. Kusangka dia akan pergi selayaknya orang yang ditakdirkan hanya singgah sesaat di hidupku. Nyatanya Tuhan mengizinkan dia lebih dari itu. Ya, lebih dari itu! Setiap kali dia bisa, dia akan berusaha memandangku. Diam-diam. Tentu saja diam-diam. Tak ubahnya wataknya yang juga pendiam. Tapi aku selalu menyadari itu. Dan dia gelagapan jika aksinya ketahuan. Ada apa sebenarnya dengan kakak kelasku ini?
Namun, semakin lama dia kuperhatikan, semakin istimewa rasanya. Aku tertenung oleh sihirnya. Sihir yang mana? Segala sifatnya. Segalanya!
Tapi demikian tabiat orang pendiam. Tak pernah mau memulai. Sudah kupahami betul tabiat itu. Tapi mau bagaimana? Aku juga orang yang pendiam. Kami sama.
Jika bertemu mulut kami terkunci. Mata kami yang berbicara. Lidah kami kelu. Namun bola mata itu, cukuplah membuatku sulit tidur.
Tapi demikian tabiat orang pendiam. Tak pernah mau memulai. Sudah kupahami betul tabiat itu. Tapi mau bagaimana? Aku juga orang yang pendiam. Kami sama.
Jika bertemu mulut kami terkunci. Mata kami yang berbicara. Lidah kami kelu. Namun bola mata itu, cukuplah membuatku sulit tidur.
Hingga suatu ketika, dia tak pernah lagi kujumpai. Atas nama pendidikan, pergilah ia menjauh pergi. Tak mengapa. Aku juga tak berhak mencegahnya. Biar dia mengejar mimpinya semaunya. Biar dia mengenal orang-orang yang berbeda. Dan biarlah pula dia temukan penggantiku.
Tapi sayang sekali. Aku tak lagi bisa melupakan dia. Dia yang telah menaburkan jutaan rindu di hatiku. Terlalu dalam. Menusuk hingga ke relungnya.
Dan dia jugalah, yang mengilhamiku menulis puluhan puisi. Puisi yang tak pernah dibaca oleh siapapun. Puisi, yang tak satupun tak mengisahkan tentangnya.
Dan dia jugalah, yang mengilhamiku menulis puluhan puisi. Puisi yang tak pernah dibaca oleh siapapun. Puisi, yang tak satupun tak mengisahkan tentangnya.
Lalu pada suatu malam, hal yang aneh meracau pikiranku.
“Tidakkah kamu tahu?” Sebuah suara dibalik ilalang menyapaku. Aku terkejut. “Kakak!”
“Aku juga merindukanmu.” Aku semakin terkejut. Kupikir dia sudah melupakanku. “Mana mungkin,” aku menyangkalnya. Sudah frustasi kurindukan dia selama ini. Pastilah dia sedang mengajakku bercanda. “Sungguh!” Ia berseru. Berusaha meyakinkanku. “Buktikan itu!”
“Ya. Akan kubuktikan suatu hari nanti.” Ia lalu tersenyum manis kepadaku. Senyum itu membuatku tenang. Dan aku yakin akan janjinya.
Aku lalu terbangun. Ia dan padang ilalang itu menghilang tiba-tiba. Ini mimpi!
“Tidakkah kamu tahu?” Sebuah suara dibalik ilalang menyapaku. Aku terkejut. “Kakak!”
“Aku juga merindukanmu.” Aku semakin terkejut. Kupikir dia sudah melupakanku. “Mana mungkin,” aku menyangkalnya. Sudah frustasi kurindukan dia selama ini. Pastilah dia sedang mengajakku bercanda. “Sungguh!” Ia berseru. Berusaha meyakinkanku. “Buktikan itu!”
“Ya. Akan kubuktikan suatu hari nanti.” Ia lalu tersenyum manis kepadaku. Senyum itu membuatku tenang. Dan aku yakin akan janjinya.
Aku lalu terbangun. Ia dan padang ilalang itu menghilang tiba-tiba. Ini mimpi!
Dan sekarang, lihatlah jam di sudut meja itu! Pukul enam tepat. Betapa cerobohnya aku! Ini hari yang penting. Dan aku malah tertidur berjam-jam seolah aku ini si putri tidur. Bagaimana rok merah muda itu akan kukenakan dalam waktu sesingkat ini? Bagaimana aku bisa merias wajahku menjadi cemerlang, seperti yang sudah kurencakan berhari-hari yang lalu?
Meski begitu, aku tak boleh, tak bisa, dan tak mungkin menghindari ini.
Meski begitu, aku tak boleh, tak bisa, dan tak mungkin menghindari ini.
Dan syukurlah, tepat pukul tujuh semua itu bisa kuatasi. Rok merah muda yang berjuntai itu, dengan sangat patuh, telah sudi menghias diriku. Dan tak perlu khawatirkan tentang riasan wajah. Karena aku tak membutuhkannya dalam kadar yang berlebihan. Si perias bilang, jika pipiku ini sudah cukup merona. Bibirku ini pun sudah dilukiskan Tuhan berwarna merah cerah. Dan bulu mataku telah cukup lentik jika hanya untuk ditambahkan bulu mata palsu.
Dan, dengarkanlah penjelasanku yang satu ini! Hari ini, akan kulantunkan senandung-senandung yang indah untuk menyambut kedatangan adik-adik kelasku yang baru. Tak cukup satu-dua buah lagu. Tetapi sepuluh lagu sekaligus. Sepuluh lagu sekaligus di depan ratusan siswa sekolahku. Oh! Terdengar begitu mendebarkan.
Piano bersuara lembut itu pun mulai menyairkan berbait-bait not. Senandungku pun mulai menyahutinya. Dan terkadang beberapa siswa ikut bernyanyi, mereka hanyut dalam sihir sebuah lagu. Dan demikianlah hingga bait terakhir sukses kubawakan.
Seseorang kemudian menghampiriku. Ketika akan kulangkahkan kaki menuruni panggung. Berbisiklah ia padaku, “tetaplah di sini!” Katanya. Dan setelah itu dia langsung pergi. Tanpa meninggalkan penjelasan lain yang lebih bisa dimengerti.
Dan kemudian, secara tiba-tiba barisan di depanku mulai bergeser rapi terkomando. Menyisakan sebuah jalan tepat di tengah-tengah. Mungkin mereka sedang memberiku jalan untuk lewat. Tapi tidak! Tidak seperti itu!
Lihatlah kini siapa yang berjalan pada bekas barisan tadi! Dengan jas rapi dan sebuket bunga. Ia berjalan ke arahku. Aku terharu.
Lihatlah kini siapa yang berjalan pada bekas barisan tadi! Dengan jas rapi dan sebuket bunga. Ia berjalan ke arahku. Aku terharu.
Aku lalu menuruni panggung. Kudekati dia. Dia sungguh menepati janjinya.
“Kak,” cukup sepatah kata dariku, dan ia menyodorkan sebuket bunga mawar merah merekah itu padaku. “Aku tidak izinkan kamu pergi dari hidupku.” Jelasnya pelan. Hatiku makin tak karuan.
“Aku juga tidak.” Indah nian jawab itu. “Terimakasih telah tepati janjimu, Kak!” Aku tersenyum lebar padanya. Lalu mengerut kemudian keningnya. “Janji apa?” Aku menggeleng. Nanti akan kuceritakan padanya tentang mimpi itu.
“Kak,” cukup sepatah kata dariku, dan ia menyodorkan sebuket bunga mawar merah merekah itu padaku. “Aku tidak izinkan kamu pergi dari hidupku.” Jelasnya pelan. Hatiku makin tak karuan.
“Aku juga tidak.” Indah nian jawab itu. “Terimakasih telah tepati janjimu, Kak!” Aku tersenyum lebar padanya. Lalu mengerut kemudian keningnya. “Janji apa?” Aku menggeleng. Nanti akan kuceritakan padanya tentang mimpi itu.
Dan kini, aku tengah disoraki oleh ratusan siswa. Ini adalah keadaan paling lazim bagi mereka untuk bersorak sepuas hatinya. Menyeru pada kami sekencang-kencangnya. Sampai pipiku berubah merah delima.
Sekarang, aku sadar. Bangku tiga koma nol lima miliknya dulu, bukanlah sekedar kebetulan, hingga akhirnya diantarkannya sebuket bunga mawar untukku hari ini. Ini tadalah takdir Tuhan yang absolut. Tak terbantahkan. Untuk ia, kakak kelasku, yang kini juga masih berstatus sebagai kakak kelasku, yang bahkan tak pernah sekalipun menyentuh tanganku, aku menyukainya setulus hatiku. Aku mendapatkannya pada kehidupanku yang lalu, kini, dan seterusnya. Ia adalah mukjizat Tuhan yang paling ajaib di hidupku.
0 komentar:
Post a Comment