About

Tuesday 8 January 2019

Cerpen Romantis Bahasa Indonesia 4

Cerpen Romantis Bahasa Indonesia 4

Pangkuan Masa


Aku tetaplah orang yang sama seperti pertama kali kita bicara, tetap sama dalam menanggapimu ketika berbalut amarah, bahkan tetap sama saat kau telah beranjak meninggalkanku. Hingga kini, setelah hari-hari berlalu menyisakan sepi, menumbuhkan rindu menusuk dada, bangkitkan kenangan. Aku tetaplah orang yang sama, tak berubah sedikitpun.
“Sudah berapa lama?”
Aku menatap luas hamparan laut di depan mata, membiarkan angin bertiup manja membelai wajah.
“Bertahun” jawabnya singkat terdengar perih.
Aku hanya diam, menetralisir rasa yang menggenang kembali.
“We are leaving each other, Kean” kalimat terakhir itu terlepas begitu saja, lirih menusuk.
“Pernikahan itu tak terjadi, wanita yang dijodohkan denganku lari bersama kekasihnya. Salah satu do’aku yang terkabul. Malam itu juga ibu mendadak serangan jantung dan pergi meninggalkanku. Aku meminta agar tetap bersama wanita yang kucintai. Yaitu kau, Dara. Namun siapa sangka bahwa aku harus membayarnya dengan hidup ibuku. Dan kau juga menghukumku, membuatku tak menemui jalan agar bisa mengejarmu kembali. Setelah hari itu aku mencarimu, Vivi bilang kau pindah namun ia tak tau pasti ntah kemana kau pergi.”
Aku memutar kepala menghadap wajahnya. Suara khas itu, raut teduh itu yang selalu mengalun dalam benak.
“Lalu sekarang aku kembali menghadapmu, menebang belantara luka-luka lama. Kau benar, aku menyaksikan betapa hebat jalan cerita antara kita. Entah berapa ribu hari telah berlalu dan kita masih sama”
Aku menemukan Kean kembali di kota ini, kota baru yang jauh dari hiruk-pikuk masa lalu. Kurasa sudah cukup kami membiarkan waktu berganti wajah. Yang jelas sekarang ia berada disampingku, mengisi sepi seiring rindu-rindu bermekaran. Mengenai bagaimana kami bertemu tentu bukan hal yang disengaja. Aku mempercayainya sebagai jodoh.
“Dara? kau tak apa?”
“I’m okey” Aku menguatkan diri agar tak jatuh saat itu juga.
Lembar pekat yang sampai ditanganku berhasil menjelma rasa kian kalut. Kean dan Lea, nama itu terukir tinta keemasan. Bak petir menari di atas kepala.
Kean, apa ini nyata?
“Aku tau, kadang tak setiap hal bisa berhasil meski sudah kita usahakan sehabis-habisnya. Semua akan pulih, Dara. Kau hanya akan sakit beberapa hari saja. setelah itu semua segera membaik” kurasakan tangan Vivi mendarat di bahuku yang hampir rubuh.
Mungkin semua akan membaik, mungkin saja.
“Besok” wajah Kean hampa tampa harapan dan rona.
Suasana sore itu hening mencekam tenggorokan, semilir angin berhembus tak seperti biasa. Menunggu senja dipangkuan hati yang beranjak sepi, tidaklah seperti apa yang pernah terbayangkan. Segala kata terjebak di sudut benak, enggan membuka dirinya.
“Aku hanya ingin bersamamu, menyaksikan waktu berganti. Hingga hanya kita yang tetap sama, tak pernah berubah”
Aku menatap lekat setiap garis wajahnya, menyaksikan siaran kebersamaan yang ringkas.
“Lalu, apa? Semua yang direncanakan tak akan terjadi. Besok perikahanmu, once in a live time. Mengawali hidup dalam lembar baru, without me” dua kata terakhir melesat berat lewati tenggorokan.
Tak ada yang lebih terasa menusuk ketimbang perasaan yang harus dibunuh paksa agar tak melulu menyisakan luka, sebab tau ia dan aku tak lagi bisa menyatu seperti impian-impian kami.
“Kita akan pergi, meninggalkan kota ini. Mewujudkan rencana kita”
Aku tersentak, mendapati matanya pancarkan ribuan keyakinan. Kerlingan yang tak pernah pudar meski ribuan hari telah lalu tinggalkan segala cerita. Dalam perkara ini untuk apa bersama jika nyatanya harus mengkhianati dan menentang banyak orang. Aku menghela nafas, menafsir luka dalam dada.
“Sudah berbagai hal yang kita lakukan. But now, let it be like that. Kita akan saling melepaskan. Kubiarkan kau menikah bersamanya and destiny will show their story. Everything will be fine, right?” Sebisa mungkin kubiarkan seluruh harapan lepas.
“Jika kau tak ingin sekarang maka tak apa. Tapi aku adalah orang yang selalu menunggu waktu mengizinkan aku membawamu. Meski dimasadepan sekalipun saat kita sudah saling tua atau bahkan saat mataku tak mampu lagi menangkap simpul senyummu, dalam do’a-do’a aku akan selalu bersamamu meski tak ada sepercik harapanpun yang tersisa”
Setelah ini, ia melangkah membelakangiku, mengubur janji dan pergi dalam luka.
Di sisi lain sudut kehidupan seorang terpaku menghadap sekumpulan tamu berwajah cemas, menunggu pengantin tak kunjung datang. Jas hitam gagahnya bak lusuh akan perasaan yang melanda saat itu. betapa ia berdo’a agar hal ini tak pernah terjadi. Bahkan dalam mimpi, Kean hanya ingin bersama Dara. bukan Lea atau wanita lain. Namun manusia tak berdaya banyak, ibu Kean memaksanya agar menikah dengan Lea.
Pagi ini ia menangkap wajah sumbringah bermekaran senyum dari wanita tua itu, berjarak duduk tak jauh darinya. Kean mencoba membalas senyum yang harus ia usahakan sekuat tenanga. Di sudut lain ada orangtua Lea yang menanti cemas anak mereka. Kean dan Lea adalah sahabat sejak kecil, satu-satunya hal yang membuat mereka jadi canggung tak selayaknya teman adalah perjodohan ini.
Kean kembali menyeret bola matanya, susuri setiap wajah yang berbisik-bisik. Sudah sekian lama menunggu, namun Lea tak kunjung datang. Hal yang melegakan Kean, setidaknya ia punya waktu lebih untuk menyadarakan diri bahwa ini nyata.
Ia terbangun dari posisi duduknya secepat kilat, menyaksikan ibunya tercengap-cengap mengutip nafas dengan keadaan setengah tertidur. Banyak orang menampung tubuh wanita itu hingga memasuki ruang ICU dan berujung kabar tak terkira. Lea, ia pergi dihari pernikahan mereka bersama kekasihnya, menjadi hal yang telah merenggut hidup wanita yang kini pucat kaku di hadapan Kean. Ia menatap kosong sekujur tubuh tak bergerak itu, berharap dapat menukar kenyataan ini dengan segala hal yang ia punya.
“Aku tak ingin kehilangan lagi, Dara. cukuplah kau saja yang menjadi duniaku. Aku tak akan menukarnya dengan apapun lagi”
Sekumpulan rerintik menumpuk dirinya di kelopak mataku. Aku juga tak ingin melewati hari tampanya lagi. biarlah yang sudah lalu menjadi keeping using hiasan waktu saja. lalu kami kembali merajut mimpi-mimpi yang dulu terbengkalai bak ruangan kosong hampa ditinggal penghuninya.
“Akankah kau ingin menjadi rumahku, Dara? tempat paling nyaman dalam tujuan setiap langkahku. Menjadi halal bagiku…”
Tak ada kata yang mampu lolos dari mulutku sedari tadi, setelah menyeka airmata ia berlutut antara dingin angin dan kepak burung-burung sore itu. Aku menatap lekat bola matanya, bundar yang selalu kucari dalam sendu.
“Dara” ucapnya menuntut jawaban.
“Yes, I’ll”
Aku mengangguk pelan. Senyum mengembang dari dua sudut bibirnya. Kean adalah tempatku bernaung menyambut hari selanjunya. Susuri masa demi masa seperti janji kami.

0 komentar:

Post a Comment