My Destiny
Sejak kematiannya, sudah kuputuskan untuk meninggalkan segala kebahagiaan yang ada di hatiku. Menutupi apapun yang membuatku tertawa dan tersenyum. Duniaku sudah gelap, aku kini hanyalah sebuah bayangan yang tertinggal. Aku adalah mayat hidup yang terus terbayang akan kesalahannya. Kematiannya memang membuatku begitu terpukul tapi aku jauh lebih kecewa, karena Tuhan mengambilnya lebih dulu dari dunia ini tanpa membiarkanku membalaskan segala rasa sakitku akan pengkhianatan yang dia ciptakan dulu.
Bunga sakura telah berguguran, musim semi kini telah berakhir dengan meninggalkan sebuah kisah cintaku yang teramat menyedihkan. Kuhempaskan tubuhku di atas kasur, kutatap langit-langit kamarku yang gelap dan perlahan air mataku turun membasahi kedua pipiku. Kubiarkan tangisku pecah malam ini tuk sekedar melampiaskan rasa sesal, kecewa, amarah dan sedihku yang tengah bercampur menjadi satu. Aku biarkan rasa sakit di dadaku bermain dan membuatku begitu sesak, karena saat ini yang aku tahu bahwa sebesar apapun lukaku dia tidak akan pernah tahu dan dia tidak akan pernah merasakannya. Dia tidak akan pernah tersiksa dengan rasa sakit yang aku alami saat ini. Tuhan telah merenggutnya sehingga aku tak bisa melampiaskan segala rasa kecewaku terhadapnya.
“Tok… tok…”
Aku segera menghapus air mataku sesaat setelah mendengar ketukan pintu dari luar kamarku. Aku beranjak dari tempat tidurku dan segera membukakan pintu. Saat membukakan pintu kulihat ibu tengah berdiri depan kamar seraya tersenyum manis kepadaku.
Aku segera menghapus air mataku sesaat setelah mendengar ketukan pintu dari luar kamarku. Aku beranjak dari tempat tidurku dan segera membukakan pintu. Saat membukakan pintu kulihat ibu tengah berdiri depan kamar seraya tersenyum manis kepadaku.
“Selvani, boleh ibu masuk?”
“Tentu saja ibu, masuklah.”
“Tentu saja ibu, masuklah.”
Ibu duduk di tepi ranjang, aku menutup pintu kamarku dan segera menghampiri ibu yang sedang asik menatap sekeliling kamarku yang gelap. Kunyalakan lampu meja belajarku dan ikut duduk di tepi ranjang bersampingan dengan ibu.
“Kenapa tidak lampu kamar saja yang dinyalakan?”
“Aku tidak butuh penerangan bu.”
“Selvani, ibu tahu kamu masih kecewa akan pertunanganmu yang batal karena Dilon telah mengkhianatimu dan sekarang kesedihanamu semakin bertambah atas meninggalnya Dilon. Tapi sayang, percayalah bahwa takdir Tuhan itu jauh lebih indah. Jika Dilon tidak ditakdirkan untukmu pasti Tuhan telah menakdirkan pria lain yang jauh lebih baik dari Dilon untuk bersanding denganmu nanti.”
“Aku tidak butuh penerangan bu.”
“Selvani, ibu tahu kamu masih kecewa akan pertunanganmu yang batal karena Dilon telah mengkhianatimu dan sekarang kesedihanamu semakin bertambah atas meninggalnya Dilon. Tapi sayang, percayalah bahwa takdir Tuhan itu jauh lebih indah. Jika Dilon tidak ditakdirkan untukmu pasti Tuhan telah menakdirkan pria lain yang jauh lebih baik dari Dilon untuk bersanding denganmu nanti.”
Aku menghela nafas mendengar kata demi kata yang keluar dari mulut ibu. Kutatap sendu kedua mata ibu yang berusaha menyakini aku akan takdir lain yang sudah Tuhan tetapkan untukku. Aku memeluk ibu dan menangis sekencang mungkin dalam pelukannya, melampiaskan segala rasa yang sedang menyiksa hatiku saat ini.
“Menangislah sepuasmu, ibu tahu hatimu sangat terluka tapi ibu mohon jangan menyiksa dirimu sendiri seperti ini nak. Masa mudamu masih panjang, masih banyak pria yang akan datang pada ibu untuk melamarmu dan menikahimu. Selvani, percayalah tak semua pria seperti Dilon.”
“Tapi aku takut bu, aku takut untuk terluka kesekian kalinya. Hatiku sudah rapuh dan rasanya hatiku sudah benar-benar hancur saat aku tahu kepercayaanku Dilon dustakan, ketulusanku Dilon duakan dan sekarang saat aku tersiksa dengan pengkhianatan ini, dia mungkin saja sudah tenang di alam sana tanpa merasakan penderitaanku, tanpa merasakan pembalasan atas rasa sakit hatiku bu.”
“Tapi aku takut bu, aku takut untuk terluka kesekian kalinya. Hatiku sudah rapuh dan rasanya hatiku sudah benar-benar hancur saat aku tahu kepercayaanku Dilon dustakan, ketulusanku Dilon duakan dan sekarang saat aku tersiksa dengan pengkhianatan ini, dia mungkin saja sudah tenang di alam sana tanpa merasakan penderitaanku, tanpa merasakan pembalasan atas rasa sakit hatiku bu.”
Ibu melepaskan pelukkanku dan meraih wajahku, matanya yang indah menatap kedua bola mataku yang tengah berlinang air mata. Ibu tersenyum seraya mengelus lembut pipiku dan menghapus air mataku.
“Kau tahu, saat kita mencintai seseorang dengan begitu dalam itu tanda bahwa kita juga harus siap untuk terluka. Cinta tak selamanya mengajarkanmu kebahagiaan tapi cinta juga mengajarkanmu untuk terluka, sekarang adalah bagaimana caramu menangani segalanya. Kau sudah dewasa dan kau pun sudah tahu bahwa memaafkan dan melupakan kesalahan seseorang itu jauh lebih baik dari pada terus mengingatnya dan membuat dirimu semakin terluka,”
Aku menghentikan tangisku sejenak, berusaha memahami apa yang telah ibu ucapkan.
“Sekarang katakan pada ibu, apa perkataan ibu salah?”
Aku menggelengkan kepalaku dan tersenyum pada ibu. Ibu membalas senyumanku dan menarikku kembali ke dalam pelukkannya. Ucapan ibu membuatku sadar akan kesalahanku selama ini yang tak sepenuhnya memaafkan kesalahan Dilon, jika diingat mungkin aku jauh lebih jahat daripada Dilon, karena aku tak bisa memaafkan orang yang sudah pergi dari dunia ini.
Kini, aku tak seharusnya menyiksa diriku sendiri dengan mengingat luka yang Dilon berikan. Hidupku terlalu singkat jika terus mengingat apa yang membuat hatiku terluka, aku sekarang akan belajar memaafkan dan mengikhlaskan kepergian Dilon dan melanjutkan hidupku.
“Ibu?”
“Hmm…?”
“Terimakasih atas nasehatmu bu, aku menyadarinya sekarang.”
“Hmm…?”
“Terimakasih atas nasehatmu bu, aku menyadarinya sekarang.”
Hari telah berlalu, bulan telah berganti, dan tahun baru pun akan kembali kusambut. Aku berjalan di taman sambil menikmati musim dingin di penghujung tahun ini. Kurapatkan jaketku yang tebal dan memasukan kedua tanganku ke dalam saku yang ada di jaketku. Aku bersyukur masih bisa merasakan musim dingin di tahun ini meski hanya sendiri tapi tak apa, karena kini aku jauh lebih baik dari sebelumnya.
“Selvani..” teriak seseorang memanggilku.
Kuhentikan langkahku dan menengok ke arah suara yang memanggilku. Kulihat seorang pria tampan melambaikan tangannya dan tersernyum lebar ke arahku. Pria itu pun berjalan pelan menghampiriku, tak sampai 5 menit pria itu pun sudah berdiri tepat di hadapanku.
“Kau siapa?” tanyaku.
“Kau lupa padaku? Aku tak banyak berubah tapi mengapa kau tak bisa mengenaliku,”
Kuhentikan langkahku dan menengok ke arah suara yang memanggilku. Kulihat seorang pria tampan melambaikan tangannya dan tersernyum lebar ke arahku. Pria itu pun berjalan pelan menghampiriku, tak sampai 5 menit pria itu pun sudah berdiri tepat di hadapanku.
“Kau siapa?” tanyaku.
“Kau lupa padaku? Aku tak banyak berubah tapi mengapa kau tak bisa mengenaliku,”
Aku menghela nafas dan mencoba mengingat wajah tampannya. Ah, aku tak bisa mengingatnya tapi wajahnya kenapa begitu sangat tampan dan tubuhnya begitu gagah, tinggi dan seksi. Selvani apa yang kau pikirkan, ayo cepat sadar dan ayo cepat berusaha mengingatnya.
“Siput, kau mau menikah denganku?” ujarnya.
Aku membulatkan kedua mataku dan menatapnya tak percaya, seorang pria yang baru kukenal sudah memintaku untuk menikah dengannya. Aku tertawa meledeknya dan menepuk pelan pundaknya.
“Aku tahu ini musim dingin terakhir di tahun ini tapi tolong jangan bercanda seperti itu. Untung saja kau mengatakannya padaku jika pada ibuku kau bisa ditampar olehnya, dasar pria aneh,”
Aku beranjak pergi meninggalkannya, namun baru beberapa langkah kuhentikan kakiku dan menengok ke arahnya sekali lagi.
Aku membulatkan kedua mataku dan menatapnya tak percaya, seorang pria yang baru kukenal sudah memintaku untuk menikah dengannya. Aku tertawa meledeknya dan menepuk pelan pundaknya.
“Aku tahu ini musim dingin terakhir di tahun ini tapi tolong jangan bercanda seperti itu. Untung saja kau mengatakannya padaku jika pada ibuku kau bisa ditampar olehnya, dasar pria aneh,”
Aku beranjak pergi meninggalkannya, namun baru beberapa langkah kuhentikan kakiku dan menengok ke arahnya sekali lagi.
“Tunggu, bagaimana bisa kau tahu namaku dan kau menyebutku apa? Siput? Kau pikir aku ini kebun binatang dasar kau kad..? kadal?”
Aku menatap tajam ke arahnya, dia hanya tersenyum manis padaku. Aku mengingatnya, aku mengingat pria yang ada di hadapanku ini, dia cinta pertamaku, Aron.
Aku menatap tajam ke arahnya, dia hanya tersenyum manis padaku. Aku mengingatnya, aku mengingat pria yang ada di hadapanku ini, dia cinta pertamaku, Aron.
“Aron? Benarkah kau Aron?”
“Sudah 13 tahun kita tak pernah bertemu, apa kabar Selvani? Ah, aku kecewa kau tak bisa mengenaliku dalam satu kali tatapan” guraunya padaku.
Aku dan Aron saling tersenyum satu sama lain dan kami pun terhanyut dalam suasana yang begitu romantis. Di bawah hujan salju aku menatap kedua bola mata indah milik Aron, tatapannya mampu membuatku jatuh dan terperangkap di dalam dunianya, seperti saat itu, saat aku mulai jatuh cinta padanya. Dulu, saat kami masih bersama semuanya terasa begitu menyenangkan dan membahagiakan sampai suatu hari Aron dan keluarganya harus pindah ke Korea dan saat itu pula kisah cinta kita pun berakhir. Namun aku tak pernah lupa akan perkataannya dulu yang akan datang menemuiku dan akan memintaku untuk menikah dengannya, meski saat itu aku baru berumur 10 tahun dan dia 15 tahun tapi aku percaya dia akan menepatinya janjinya, dan kini ia telah memenuhi janjinya padaku.
“Kabarku baik, kenapa kau bisa ada di Jepang?”
“Aku di sini untuk memenuhi janjiku, menemuimu dan menikahimu. Aku sudah tahu pertunanganmu batal, saat aku tahu itu aku sangat bahagia karena aku masih mempunyai kesempatan untuk memilikimu dan mengembalikan semua kebahagiaanmu,”
“Aku di sini untuk memenuhi janjiku, menemuimu dan menikahimu. Aku sudah tahu pertunanganmu batal, saat aku tahu itu aku sangat bahagia karena aku masih mempunyai kesempatan untuk memilikimu dan mengembalikan semua kebahagiaanmu,”
Aku menangis terharu mendengar ucapannya. Aku masih tak percaya bahwa dia cinta pertamaku kembali datang dan memenuhi semua janjinya. Aku tak bisa berkata apapun, hatiku terlalu bahagia menerima pengakuan ini darinya.
“Aku tahu, aku sedikit terlambat tapi maukah kau menerimaku kembali dan menikah denganku? Aku berjanji, aku akan membuatmu mengenali lagi kebahagiaan. Aku berjanji, aku akan menjagamu dan tidak akan pernah meninggalkanmu lagi, percayalah padaku pada hatiku.”
“Sungguh?”
“Aku bersungguh-sungguh padamu, Selvani.”
“Sungguh?”
“Aku bersungguh-sungguh padamu, Selvani.”
“Baiklah, aku mau menikah denganmu.” Jawabku penuh keyakinan.
Aron menarikku ke dalam pelukkannya, ia terlihat begitu sangat bahagia setelah mendengar jawabanku. Ia tak bisa berhenti tersenyum dan ia semakin mengeratkan pelukkannya padaku. Aku membalas pelukkannya, aku juga tak bisa mengungkiri bahwa aku saat ini benar-benar sangat bahagia. Tuhan telah memberikanku takdir lain yang jauh lebih baik dari sebelumnya, Dia telah mendatangkan seorang pria untuk menjadi teman hidupku, untuk menjadi pelengkapku, untuk menjadi penyeimbang masa muda dan masa tuaku kelak. Ibu, ucapanmu benar bahwa Tuhan akan memberikanku pria yang pantas untuk bersanding denganku dan Dia telah mendatangankannya, Aron cinta pertamaku. Dengan Aron di sisiku saat ini, aku tak perlu lagi khawatir karena aku percaya bersamanya aku selalu punya asa untuk menapak hidup kami ke depan.
0 komentar:
Post a Comment