PDF BISA DI DOWNLOAD DI : klik disini
Fintech : Solusi Membangun Inklusi Keuangan
di Era Digital
Ditulis oleh : Anugrah Dwi Kusuma
Seiring
dengan perkembangan zaman, manusia terus berkreasi demi menciptakan segala hal
yang dapat memudahkan pekerjaannya. Hal ini mendorong kemajuan teknologi
menjadi semakin pesat, hingga dunia dirasakan seperti dalam sebuah genggaman.
Bagai tergerus seleksi alam, teknologi konvensional bak hilang ditelan bumi dan
tergantikan oleh teknologi digital. Akibatnya, manusia dalam menjalani
kelangsungan hidupnya cenderung tidak dapat lepas dari teknologi digital.
Di
Indonesia sendiri, teknologi digital sudah menjadi kebutuhan pokok
masyarakatnya. Bahkan, negara kita telah disebut sebagai ‘raksasa teknologi
digital Asia yang sedang tertidur’. Menurut hasil survey Asosiasi Penyelenggara
Jasa Internet Indonesia (APJII) yang bekerjasama dengan Teknopreneur pada tahun
2017, penduduk Indonesia yang terhubung dengan internet mencapai 143 jiwa atau
setara dengan 54,7 persen dari total populasi yang berkisar sekitar 262 juta
jiwa. Berdasarkan total pengguna internet tersebut, perangkat yang dipakai
untuk mengakses internet adalah 44,16 persen melalui smartphone, 4,49 persen melalui laptop atau komputer pribadi, 39,28
persen memakai keduanya, dan 12,07% menggunakan perangkat lain. Penggunaan smartphone masih sangat mendominasi. Hal
ini berkaitan dengan data e-Marketer yang menyatakan bahwa pengguna smartphone di Indonesia akan mencapai
lebih dari 100 juta jiwa pada tahun 2018. Ini menandakan bahwa kita sedang
berada di era digital yang penuh dengan kemudahan.
Berkembangnya
teknologi membuat semua sektor perindustrian harus segera bertransformasi,
khususnya pada sektor perbankan. Keinginan masyarakat untuk melakukan segala
sesuatu secara mudah menjadi tantangan perbankan menuju digital banking. Dan yang lebih menariknya, telah melejit sebuah teknologi
yang kini acapkali menjadi sorotan media, bernama Fintech, teknologi revolusioner yang menggabungkan teknologi dengan
keuangan. Fintech merupakan singkatan
dari ‘financial’ dan ‘technology’ yaitu sebuah gabungan antara
keuangan dengan teknologi yang mengubah model bisnis konvensional menjadi
bisnis moderat. Sebagai contoh, yang awalnya dalam membayar kita harus bertatap
muka dan membawa sejumlah uang kas, kini kita dapat melakukan transaksi jarak
jauh dengan melakukan pembayaran yang dilakukan dalam hitungan detik saja.
Begitupula dengan proses meminjam uang yang sangat mudah dan cepat, bahkan
hanya memerlukan beberapa tap atau
klik saja.
Inovasi
teknologi di bidang keuangan ini mulai dikembangkan saat pasar finansial dunia
menggelegak oleh krisis ekonomi subprime
mortage pada tahun 2008 di Amerika Serikat. Krisis ini bukan hanya
menyebabkan harga properti turun secara drastis, melainkan juga menyebabkan
rakyat sipil yang bankable maupun
yang unbankable tidak sabaran dengan
proses transaksi yang bertele-tele dan cenderung harus melalui proses yang
panjang. Semuanya merindukan proses yang mudah dan efisien. Melihat hal ini
terjadi, perusahaan start-up segera
merealisasikan keinginan publik. Dan mulai saat itu pula, Fintech terus berkembang pesat dan diinovasikan hingga kini. Fintech memaksa industri perbankan untuk
melakukan penyesuaian yang signifikan. Tak hanya melayani pembayaran, tetapi
juga melayani bidang pinjaman serta jasa keuangan lain. Keuntungan Fintech bagi nasabah dan bank tentunya
cukup besar, yaitu nasabah dapat mengakses layanan perbankan secara cepat tanpa
mengantre. Selain itu, customer juga
dapat melakukan transaksi keuangan dengan baik.
Fintech yang
telah banyak berkembang dan digunakan oleh masyarakat Indonesia pada umumnya adalah
berupa start-up atau aplikasi yang
dapat dijalankan di berbagai perangkat, khususnya smartphone. Hal ini dikarenakan oleh tujuan keberadaan Fintech, yakni memungkinkan masyarakat
lebih mudah mengakses produk keuangan, mempermudah transaksi dan juga
meningkatkan literasi keuangan. Fintech di
Indonesia memiliki beberapa ragam fokus, antara lain start-up pembayaran, peminjaman (lending), perencanaan keuangan (personal
finance), investasi ritel, pembiayaan (crowdfunding),
remitansi, dan riset keuangan. Ragam fokus ini bersifat dinamis dan akan
terus berkembang seiring perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat.
Belakangan
ini, teknologi finansial sering dihubungkan dengan inklusi keuangan. Menurut
Strategi Nasional Keuangan Inklusif dari Bank Indonesia, inklusi keuangan
adalah hak setiap orang untuk memiliki akses dan layanan penuh dari lembaga
keuangan secara tepat waktu, nyaman, informatif, dan terjangkau biayanya dengan
penghormatan penuh kepada harkat dan martabatnya. Kenyataannya, akses keuangan
di Indonesia masih belum merata. Berdasarkan data dari Global Findex tahun
2014, orang Indonesia yang memiliki akses dengan lembaga keuangan hanya sekitar
36% dari total populasi dan sisanya masih tergolong unbankable atau belum terjamah akses keuangan. Ini berkaitan dengan
survey APJII 2017 yang menyatakan bahwa pemanfaatan internet untuk transaksi
perbankan menjadi yang kedua terendah setelah berjualan online, yakni sebesar 17 persen dari total populasi pengguna
internet.
Dari
143 juta masyarakat Indonesia yang sudah terkoneksi jaringan internet, ada
sekitar 63 juta masyarakat kelas menengah ke bawah yang menggunakan internet,
sedangkan masyarakat kelas atas sebesar 3 juta jiwa. Masyarakat Indonesia yang unbankable kebanyakan berasal dari
masyarakat kelas menengah ke bawah. Hal ini dikarenakan oleh minimnya
pembangunan dan keberadaan lembaga keuangan di daerah-daerah pelosok, sehingga
segala fasilitas cenderung masih berpusat di perkotaan. Masyarakat pedesaan
lebih memilih menyimpan uangnya di rumah daripada harus berjalan jauh menuju perkotaan
untuk menabung. Menurut Findex 2017, 33 persen dari populasi yang belum
menggunakan jasa perbankan memilih faktor jarak sebagai alasan utamanya. Di
sisi lain, lebih dari 69 persen populasi yang belum menggunakan jasa perbankan
di Indonesia telah memiliki ponsel, dalam hal ini ponsel pintar atau smartphone.
Realita
tersebut semakin memperkuat peluang Fintech
atau teknologi finansial untuk bisa berkontribusi dalam membangun inklusi
keuangan di Indonesia. Terlebih lagi, industri Fintech mengalami peningkatan yang signifikan dalam kurun waktu
beberapa tahun terakhir. Jika dilihat dari keberadaan Fintech, sudah ada 235 perusahaan yang telah beroperasi sampai saat
ini. Namun, baru hanya 64 perusahaan
yang berizin dan terdaftar di OJK per Agustus 2018. Dan total pembayaran
digital melalui Fintech tercatat
telah mencapai nilai transaksi sebesar 21 jutal dollar AS di Indonesia. Perkembangan
teknologi Fintech berdampak langsung
pada pasar konvensional. Banyak penyedia jasa layanan keuangan yang juga mulai
menawarkan produk-produk keuangan dengan berbasis teknologi untuk memenuhi
keinginan pasar yang ada. Menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK), saat ini masih
ada 49 juta unit UKM yang unbankable dan Rp. 988 triliun pembiayaan yang masih
belum bisa diisi oleh perusahaan manapun. Data ini menambah keyakinan bahwa
tingkat literasi keuangan di Indonesia masih tergolong rendah, yakni hanya 21,
8 persen dibandingkan dengan Singapura yang mencapai 96 persen, Malaysia 81
persen, dan Thailand 78 persen.
Sebenarnya,
kita sudah cukup sering menggunakan fasilitas Fintech yang disediakan oleh pasar konvensional, antara lain mobile-banking, rekening ponsel, dan e-banking. Fasilitas ini mulai
dikembangkan karena mengingat adanya kebutuhan dari para pengguna. Fasilitas-fasilitas
ini masih terus digalakan oleh pasar konvensional, sehingga mereka juga dapat
menghemat beberapa pos biaya. Saat ini, sudah ada beberapa bank yang
menghadirkan aplikasi Fintech yang
memungkinkan masyarakat untuk tidak perlu datang ke bank saat hendak membuka
rekening. Demi membangun inklusi keuangan di era digital, banyak lembaga
keuangan yang saling bersaing untuk menghadirkan fasilitas mobile-banking via aplikasi smartphone
dengan desain yang menarik, layanan yang cepat dan kelengkapan fitur-fitur
canggih. Usaha-usaha ini telah memberi peran penting dalam menjangkau bagian
masyarakat Indonesia yang selama ini belum merasakan layanan keuangan.
Kehadiran
Fintech seakan sangat didukung oleh
keadaan masyarakat Indonesia. Dari 143 juta masyarakat Indonesia yang sudah
terkoneksi jaringan internet, ada sekitar 63 juta masyarakat kelas menengah ke
bawah yang menggunakan internet, sedangkan masyarakat kelas atas sebesar 3 juta
jiwa. Itu artinya, adanya Fintech juga
dapat mensejahterakan masyarakat kelas ekonomi menengah ke bawah dengan layanan
peminjaman uang secara online.
Kebanyakan
masyarakat yang belum pernah meminjam uang di bank beranggapan bahwa mengajukan
pinjaman di bank sangatlah merepotkan karena proses yang cukup panjang dan
memerlukan agunan. Namun, semenjak adanya Fintech
yang menyediakan jasa pinjaman online,
masyarakat yang sebelumnya masih mengandalkan rekening dalam hal
pinjam-meminjam uang, kini sudah bisa merasakan pinjaman mudah tanpa agunan. Pinjaman
tunai yang disediakan Fintech bisa
cair dengan cepat, sehingga bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan yang mendesak.
Syaratnya pun mudah, yakni tidak memerlukan pengisian formulir, melainkan hanya
perlu foto diri dan foto KTP, dan pinjaman pun bisa segera diajukan.
Proses
meminjam uang melalui Fintech memang
terlihat sangat berbeda dengan proses meminjam uang di bank konvensional yang
nominal pinjamannya harus sesuai dengan persyaratan yang berlaku. Perusahaan Fintech menyediakan layanan pinjaman
dengan nominal uang yang beragam. Dari pinjaman sebesar 1 sampai 2 juta rupiah,
hingga puluhan dan ratusan juta rupiah, dengan ketentuan bunga pinjaman yang
berbeda-beda pula di setiap perusahaan. Proses peminjaman uang melalui perusahaan Fintech sangatlah mudah, efisien, dan tidak
bertele-tele karena prosesnya diselesaikan langsung melalui smartphone.
Layanan
peminjaman uang secara digital ini sangat membantu para pelaku usaha mikro,
kecil, dan menengah (UMKM) di Indonesia untuk mendapatkan kredit usaha. Pelaku
UMKM memiliki andil yang tinggi dalam meningkatkan perekonomian Indonesia.
Bahkan, sudah terdapat 58 juta UMKM pada tahun 2017 yang mempekerjakan 89
persen tenaga kerja sektor swasta dan berkontribusi hingga 60 persen dari PDB. Tapi,
masing-masing perusahaan Fintech memiliki
ketentuan yang berbeda-beda. Sebelum menggunakan jasa dari perusahaan Fintech, customer dituntut untuk lebih bijak dalam menentukan perusahaan
jasa layanan yang sekiranya cocok dan memiliki track record yang baik. Gunakanlah jasa layanan Fintech yang resmi, bertanggung jawab
dan transparan, yaitu jasa layanan yang
memiliki tujuan jelas, memiliki website
resmi dan sudah memperoleh izin berupa pengesahan dari badan atau lembaga
pemerintah, sehingga pada nantinya tidak ada pihak yang merasa dirugikan.
Bila
teknologi finansial atau Fintech mampu
tumbuh serta berperan secara maksimal, maka inklusi keuangan di Indonesia akan mengalami
penetrasi secara gemilang sesuai target. Di sisi lain, semua pihak akan
mendapatkan manfaatnya. Dari pihak pemerintah, upaya untuk meningkatkan inklusi
keuangan dapat tercapai, dari pihak investor atau pemegang perusahaan Fintech, pun bisa menikmati keuntungan
dari bisnis yang dihasilkan, dan tentunya bagi masyarakat atau customer, adanya Fintech membuat mereka merasakan kemudahan untuk mengakses sumber
keuangan atau permodalan. Tidak ada satupun pihak yang merasa dirugikan dan
semuanya dapat bersinergi menjadi satu kesatuan, itulah unsur yang paling
hakiki dalam mewujudkan kesejahteraan umat manusia.
Daftar Pustaka
0 komentar:
Post a Comment