About

Wednesday, 26 December 2018

Opini tentang Kasus Korupsi (Tugas PKN)


FILE WORD BISA DI DOWNLOAD DI : here

OPINI KASUS 
“PENYALAHGUNAAN KEUANGAN NEGARA YANG TERSISTEMATIS”

by Anugrah Dwi Kusuma

Penyalahgunaan keuangan negara sering sekali menjadi masalah di Indonesia. Hal ini menyebabkan rakyat tidak mendapat hak ekonomi yang seharusnya. Karena menurut saya, keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban yang bernilai uang, dan dapat dijadikan kekayaan negara. Jika kekayaan negara tersebut diambil oleh masing-masing orang yang mencari keuntungan pribadi atau kelompok, maka perekonomian negara ini akan terpuruk. Penggelembungan dana yang tidak jelas sering terjadi sejak perencanaan anggaran di pusat. Jika ada kasus korupsi tingkat tinggi, ada saja oknum yang menghalang-halangi KPK untuk melaksanakan tugasnya sebagai badan pemberantasan korupsi. Jika tertangkap pun, koruptor masih bisa mendapat fasilitas yang menyenangkan di penjara. Sebaiknya, pemerintah memberikan kekuasaan khusus dan sepenuhnya kepada KPK untuk menumpas kasus-kasus korupsi dan menghukum siapa saja yang menghalangi-halangi termasuk anggota-anggota dewan yang tidak menyetujui adanya KPK. Karena, KPK sangat berfungsi untuk menumpas koruptor, jikalau ada oknum KPK yang korupsi, maka hukumannya harus hukuman mati.

Anggota KPK memiliki tugas yang sangat mulia dan terhormat, maka dari  itu barangsiapa yang melanggar dan berhianat, memang hukumannya yang paling tepat adalah hukuman mati. Hukuman ini juga akan membuat efek jera kepada orang yang bermental koruptor. Sehingga, mental orang KPK tidak akan berjiwa koruptor. Ditambah lagi dengan sumber pendapatan negara Indonesia yang paling tinggi, yakni Pajak. Pegawai dan orang-orang Pajak harus melaksanakan tugasnya dengan bijak. Begitupula dengan hukuman bagi seorang koruptor pajak, ia harus dihukum mati karena ia telah memakan uang rakyat atas kepentingan pribadi dan bermental maling. Percuma makan daging bistik tapi rakyat di sekitarnya miskin kelaparan. Ganjaran hukuman mati itu, merupakan langkah yang dinilai paling tepat diterapkan bagi koruptor yang ada di negeri ini.

Negara Indonesia adalah negara hukum yang dinyatakan dengan tegas dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, jadi disini maksudnya adalah segala sesuatu tindakan negara atau pemerintah harus berdasarkan hukum. Tujuannya adalah agar hak-hak asasi dari penduduknya dapat terlindungi dari tindakan sewenang-wenang penguasa atau dalam hal ini negara. Masalah korupsi bukan merupakan masalah baru di Indonesia karena telah ada sejak tahun 1950-an. Bahkan berbagai kalangan menilai bahwa korupsi telah menjadi bagian dari kehidupan pejabat yang menjadi suatu sistem dan menyatu dengan penyelenggaraan pemerintahan negara. Penanggulangan korupsi telah dilakukan pemerintah sejak dahulu yang ditandai dengan lahirnya Undang-Undang No. 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sayangnya banyak menemui kegagalan disebabkan karena berbagai institusi yang dibentuk untuk pemberantasan korupsi tidak menjalankan fungsinya dengan efektif, perangkat hukum yang lemah, ditambah dengan aparat penegak hukum yang tidak sungguh-sungguh menyadari akibat dari tindakan korupsi. Keadaan tersebut tanpa disadari akan merongrong demokrasi sebagai sendi utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, melumpuhkan nilai-nilai dan kepastian hukum serta semakin jauh dari tujuan tercapainya masyarakat yang sejahtera.

UU Tindak Pidana Korupsi untuk menjerat para koruptor dan menyita harta kekayaannya masih belum efektif atau belum diterapkan sebagai mana mestinya. Hal ini ditandai dengan semakin meningkatnya tindak pidana korupsi terutama yang dilakukan oleh para pejabat negara, seperti yang dilakukan oleh Bahasyim Assifie, Dhana Widiatmika, kasus korupsi E-KTP, Gayus Tambunan, dan masih banyak lagi. Sanksi pidana yang terdapat dalam UU No.20 tahun 2000 tentang Perubahan Atas UU No.31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, adalah sudah bagus yaitu sanksi pidana yang dapat diterapkan terhadap para pelaku tindak pidana korupsi berupa pidana mati, pidana penjara, dan pidana denda sudah cukup berat apabila dijatuhkan kepada para koruptor sesuai prosedur tindakan. Tetapi pada kenyataannya selama ini penjatuhan hukuman kepada para koruptor tidak menjadikan menurunnya jumlah tindak pidana korupsi, bahkan cenderung naik atau meningkat yang ditandai dengan tidak hanya lembaga eksekutif dan yudikatif yang melakukan penyelewengan dana negara tetapi tindakan korupsi ini juga telah dilakukan oleh lembaga legislatif.




Ada beberapa tindak pidana korupsi yang merupakan hasil temuan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang akan diadili di pengadilan tetapi ketika dijatuhkan hukuman, hakim menjatuhkan hukuman minimalnya sehingga dirasakan adanya kekurangadilan terhadap tindakan dari aparat penegak hukum yang seolah melekukan teori tebang pilih. Bahkan ada juga tindak pidana korupsi yang sulit dalam pembuktiannya sehingga dijatuhi hukuman bebas. Sejak tahun 2010 telah ada aturan yang relative bagus untuk kasus korupsi yakni UU No. 8 tahun 2010 tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang ( selanjutnya disebut UU TPPU). UU pencucian uang ini memperkenalkan sistem penegakan hukum yang relatif baru sebagai salah satu alternatif dalam memecahkan persoalan mengenai tindak pidana korupsi karena metode yang digunakan berbeda dengan penegakan hukum secara konvensional tetapi juga memberikan kemudahan dalam penanganan perkaranya.

Dimana dengan metode anti pencucian uang, pengungkapan tindak pidana korupsi dan pelaku tindak pidana korupsi lebih difokuskan pada penelusuran aliran dana/uang haram atau transaksi keuangan sebagai hasil dari tindak pidana korupsi pendekatan ini tidak terlepas dari suatu pendapat bahwa hasil kejahatan merupakan “life blood of crime” artinya merupakan darah yang menghidupi tindak kejahatan sekaligus titik terlemah dari rantai kejahatan yang paling mudah dideteksi. Sehingga dengan memotong rantai kejahatan ini selain relatif mudah dilakukan juga akan menghilangkan motivasi pelaku untuk melakukan tindak pidana korupsi karena tujuan dari korupsi adalah untuk menikmati hasil kajahatannya menjadi terhalangi dan sulit dilakukan.  Indonesia memiliki keuangan yang melimpah, andai saja tidak ada maling di dalam lembaga keuangan, maka Indonesia akan menjadi salah satu negara maju. Penduduk Indonesia sangat banyak, jikalau persentase mengatakan 60 % penduduk Indonesia adalah orang miskin maka 40% nya adalah orang kaya. Betapa banyak orang kaya yang ada di negeri ini, jika persentase tersebut dikalikan dengan jumlah total penduduk Indonesia.

Maka dari itu, rakyat Indonesia harus mensyukuri anugrah dan kekayaan tersebut. Cara mensyukuri anugerah tersebut dengan cara memanfaatkan sumber keuangan yang dimiliki oleh Negara Indonesia dengan sebaik-baiknya, dan menggunakannya sesuai kebutuhan (tidak berfoya – foya). Apabila saya dipercaya untuk mengelola keuangan negara, saya akan menggunakan sesuai dengan apa yang dibutuhkan negara kita, tidak korupsi atau mengambil uang yang bukan hak milik saya, menghemat pembelanjaan negara. Sebagai seorang pelajar, yang harus dilakukan sebagai wujud partisipasi dalam menjaga kehormatan lembaga lembaga peradilan adalah mengikuti upacara bendera dengan hikmat dan tenang , tidak melanggar peraturan yang telah dibuat, belajar dengan rajin, tidak melakukan tindakan kriminal seperti mencuri.


0 komentar:

Post a Comment