FILE WORD BISA DI DOWNLOAD DI : here
OPINI KASUS
“PENYALAHGUNAAN
KEUANGAN NEGARA YANG TERSISTEMATIS”
Penyalahgunaan keuangan negara sering sekali menjadi
masalah di Indonesia. Hal ini menyebabkan rakyat tidak mendapat hak ekonomi
yang seharusnya. Karena menurut saya, keuangan negara adalah semua hak dan
kewajiban yang bernilai uang, dan dapat dijadikan kekayaan negara. Jika
kekayaan negara tersebut diambil oleh masing-masing orang yang mencari
keuntungan pribadi atau kelompok, maka perekonomian negara ini akan terpuruk.
Penggelembungan dana yang tidak jelas sering terjadi sejak perencanaan anggaran
di pusat. Jika ada kasus korupsi tingkat tinggi, ada saja oknum yang
menghalang-halangi KPK untuk melaksanakan tugasnya sebagai badan pemberantasan
korupsi. Jika tertangkap pun, koruptor masih bisa mendapat fasilitas yang
menyenangkan di penjara. Sebaiknya, pemerintah memberikan kekuasaan khusus dan
sepenuhnya kepada KPK untuk menumpas kasus-kasus korupsi dan menghukum siapa
saja yang menghalangi-halangi termasuk anggota-anggota dewan yang tidak menyetujui
adanya KPK. Karena, KPK sangat berfungsi untuk menumpas koruptor, jikalau ada
oknum KPK yang korupsi, maka hukumannya harus hukuman mati.
Anggota KPK memiliki tugas yang sangat mulia dan
terhormat, maka dari itu barangsiapa
yang melanggar dan berhianat, memang hukumannya yang paling tepat adalah
hukuman mati. Hukuman ini juga akan membuat efek jera kepada orang yang
bermental koruptor. Sehingga, mental orang KPK tidak akan berjiwa koruptor.
Ditambah lagi dengan sumber pendapatan negara Indonesia yang paling tinggi,
yakni Pajak. Pegawai dan orang-orang Pajak harus melaksanakan tugasnya dengan
bijak. Begitupula dengan hukuman bagi seorang koruptor pajak, ia harus dihukum
mati karena ia telah memakan uang rakyat atas kepentingan pribadi dan bermental
maling. Percuma makan daging bistik tapi rakyat di sekitarnya miskin kelaparan.
Ganjaran hukuman mati itu, merupakan langkah yang dinilai paling tepat
diterapkan bagi koruptor yang ada di negeri ini.
Negara Indonesia adalah negara hukum yang dinyatakan dengan
tegas dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, jadi disini maksudnya adalah segala
sesuatu tindakan negara atau pemerintah harus berdasarkan hukum. Tujuannya
adalah agar hak-hak asasi dari penduduknya dapat terlindungi dari tindakan
sewenang-wenang penguasa atau dalam hal ini negara. Masalah korupsi bukan
merupakan masalah baru di Indonesia karena telah ada sejak tahun 1950-an.
Bahkan berbagai kalangan menilai bahwa korupsi telah menjadi bagian dari
kehidupan pejabat yang menjadi suatu sistem dan menyatu dengan penyelenggaraan
pemerintahan negara. Penanggulangan korupsi telah dilakukan pemerintah sejak
dahulu yang ditandai dengan lahirnya Undang-Undang No. 3 tahun 1971 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sayangnya banyak menemui kegagalan
disebabkan karena berbagai institusi yang dibentuk untuk pemberantasan korupsi
tidak menjalankan fungsinya dengan efektif, perangkat hukum yang lemah,
ditambah dengan aparat penegak hukum yang tidak sungguh-sungguh menyadari
akibat dari tindakan korupsi. Keadaan tersebut tanpa disadari akan merongrong
demokrasi sebagai sendi utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
melumpuhkan nilai-nilai dan kepastian hukum serta semakin jauh dari tujuan
tercapainya masyarakat yang sejahtera.
UU Tindak Pidana Korupsi untuk menjerat para koruptor dan
menyita harta kekayaannya masih belum efektif atau belum diterapkan sebagai
mana mestinya. Hal ini ditandai dengan semakin meningkatnya tindak pidana
korupsi terutama yang dilakukan oleh para pejabat negara, seperti yang
dilakukan oleh Bahasyim Assifie, Dhana Widiatmika, kasus korupsi E-KTP, Gayus
Tambunan, dan masih banyak lagi. Sanksi pidana yang terdapat dalam UU No.20
tahun 2000 tentang Perubahan Atas UU No.31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, adalah sudah bagus yaitu sanksi pidana yang dapat
diterapkan terhadap para pelaku tindak pidana korupsi berupa pidana mati,
pidana penjara, dan pidana denda sudah cukup berat apabila dijatuhkan kepada
para koruptor sesuai prosedur tindakan. Tetapi pada kenyataannya selama ini
penjatuhan hukuman kepada para koruptor tidak menjadikan menurunnya jumlah
tindak pidana korupsi, bahkan cenderung naik atau meningkat yang ditandai
dengan tidak hanya lembaga eksekutif dan yudikatif yang melakukan penyelewengan
dana negara tetapi tindakan korupsi ini juga telah dilakukan oleh lembaga
legislatif.
Ada beberapa tindak pidana korupsi yang merupakan hasil
temuan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang akan diadili di pengadilan
tetapi ketika dijatuhkan hukuman, hakim menjatuhkan hukuman minimalnya sehingga
dirasakan adanya kekurangadilan terhadap tindakan dari aparat penegak hukum
yang seolah melekukan teori tebang pilih. Bahkan ada juga tindak pidana korupsi
yang sulit dalam pembuktiannya sehingga dijatuhi hukuman bebas. Sejak tahun
2010 telah ada aturan yang relative bagus untuk kasus korupsi yakni UU No. 8
tahun 2010 tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (
selanjutnya disebut UU TPPU). UU pencucian uang ini memperkenalkan sistem
penegakan hukum yang relatif baru sebagai salah satu alternatif dalam
memecahkan persoalan mengenai tindak pidana korupsi karena metode yang
digunakan berbeda dengan penegakan hukum secara konvensional tetapi juga
memberikan kemudahan dalam penanganan perkaranya.
Dimana dengan metode anti pencucian uang, pengungkapan
tindak pidana korupsi dan pelaku tindak pidana korupsi lebih difokuskan pada
penelusuran aliran dana/uang haram atau transaksi keuangan sebagai hasil dari
tindak pidana korupsi pendekatan ini tidak terlepas dari suatu pendapat bahwa
hasil kejahatan merupakan “life blood of crime” artinya merupakan darah yang
menghidupi tindak kejahatan sekaligus titik terlemah dari rantai kejahatan yang
paling mudah dideteksi. Sehingga dengan memotong rantai kejahatan ini selain relatif
mudah dilakukan juga akan menghilangkan motivasi pelaku untuk melakukan tindak
pidana korupsi karena tujuan dari korupsi adalah untuk menikmati hasil
kajahatannya menjadi terhalangi dan sulit dilakukan. Indonesia memiliki keuangan yang melimpah, andai
saja tidak ada maling di dalam lembaga keuangan, maka Indonesia akan menjadi
salah satu negara maju. Penduduk Indonesia sangat banyak, jikalau persentase
mengatakan 60 % penduduk Indonesia adalah orang miskin maka 40% nya adalah
orang kaya. Betapa banyak orang kaya yang ada di negeri ini, jika persentase
tersebut dikalikan dengan jumlah total penduduk Indonesia.
Maka dari itu, rakyat Indonesia harus mensyukuri anugrah
dan kekayaan tersebut. Cara mensyukuri anugerah tersebut dengan cara
memanfaatkan sumber keuangan yang dimiliki oleh Negara Indonesia dengan
sebaik-baiknya, dan menggunakannya sesuai kebutuhan (tidak berfoya – foya).
Apabila saya dipercaya untuk mengelola keuangan negara, saya akan menggunakan
sesuai dengan apa yang dibutuhkan negara kita, tidak korupsi atau mengambil
uang yang bukan hak milik saya, menghemat pembelanjaan negara. Sebagai seorang
pelajar, yang harus dilakukan sebagai wujud partisipasi dalam menjaga
kehormatan lembaga lembaga peradilan adalah mengikuti upacara bendera dengan
hikmat dan tenang , tidak melanggar peraturan yang telah dibuat, belajar dengan
rajin, tidak melakukan tindakan kriminal seperti mencuri.
0 komentar:
Post a Comment