About

Wednesday 26 December 2018

SAY NO TO POPULISM!


SAY NO TO POPULISM!
Sistem muti-partai dan sistem pemilihan presiden secara langsung yang berada dalan bingkai demokrasi, pada gilirannya telah menjelma menjadi demokrasi procedural dan cenderung bersifat oligarki. Artinya demokrasi hanya dinikmati para elit politik partai, para pengusaha/pelaku bisnis, dan aparat birokrasi baik di tingkat pusat maupun daerah.
Di sinilah kemudian secara dialektis muncul gagasan berbasis populisme, yang mana rakyat menuntut dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Sebab melalui demokrasi prosedural seperti sekarang ini, aspirasi dan hajatan rakyat banyak justru secara sistematis dan terencana dibendung untuk menyalurkan aspirasinya.
Populisme didefinisikan sebagai suatu ideologi yang memisahkan masyarakat  ke dalam dua kelompok yang homogen dan antagonis, masyarakat yang murni dan elite yang korup. Selain itu, para penyokong populisme berpendapat bahwa politik harus merupakan ekspresi dari keinginan umum masyarakat.
Populisme memang mempunyai beragam arti. Populisme artinya berbeda untuk tiap kelompok. Namun demikian, persamaan di antara populisme untuk setiap kelompok adalah bahwa semuanya sama dalam hal kecurigaan terhadap elite dan semua memusuhi elite , membenci mainstream politics (arus utama dalam politik), dan institusi yang mapan. Dengan cara ini, populisme mewakili mereka yang dilupakan, orang biasa yang terpinggirkan, bahkan seringkali merasa mewakili patriotisme murni.
Lebih celaka lagi, ketika dalam paham populisme tersebut terkandung pandangan bahwa pemilu dan demokrasi tidak ada gunanya bagi masyarakat dan orang banyak. Sebab demokrasi prosedural seperti itu tidak mungkin akan lahir para pemimpin yang berbasis kerakyatan. Dan karenanya tidak akan melahirkan kekuasaan negara yang akan menyejahterakan rakyat.
Dalam pandangan populisme, rakyat memandang para elit  yang dikendalikan oleh oligarki partai, cenderung berkhianat kepada rakyat dan korup. Padahal ketika proses pemilu, baik elit oligarki partai maupun elit yang ikut dalam kontestasi pemilu presiden, berlomba-lomba meminta dukungan suara dari rakyat.
Di sinilah secara dialektis populisme muncul dan diharapkan sebagai solusi mengatasi kebuntuan demokrasi, seraya berharap agar dapat menyelesaikan masalah-masalah kesejahteraan dan keadilan sosial bagi masyarakat.
Banyak kalangan khawatir populisme berpotensi membahayakan kelangsungan hidup demokrasi. Namun bagaimana solusi untuk mengatasi jalan buntu demokrasi saat ini? Marilah kita menengok sejenak ke luar. Kemenangan Donald Trump pada pilpres AS tahun lalu, dipandang sebagai fenomena bangkitnya populisme. Tentu saja pada kenyataannya bisa kita perdebatkan.
Kemenangan Donald Trump atas Hillary Clinton dalam pemilihan Presiden Amerika Serikat mengagetkan secara global. Tidak  kurang dari majalah yang sangat tinggi reputasinya, The Economist yang berpusat di London, Inggris menyebutnya sebagai Trumpquake, gempa Trump.
Trump yang latar belakangnya adalah business tycoon sangat berbeda dengan rekan-rekannya dari partai Republik. Trump jelas bukan politisi gaya Washington. Dia datang dengan gaya, pemikiran, dan rencana yang bertolak belakang dengan politisi-politisi Amerika Serikat umumnya. Tengok saja cara, retorika, dan ancaman yang ia lontarkan ketika kampanye. Kawan saja dibikin bingung, apalagi lawan. Tapi nampaknya rakyat Amerika Serikat senang dengan Trump, setidaknya sebagian rakyat Amerika Serikat yang memilih  dia.
Gaya seperti Trump yang menghantam para elite politik yang sudah mapan sepertinya sedang mewabah di Dunia. Tingkat prevalensinya meningkat di beberapa negara di Eropa. Tengok saja di Hungaria, bisa disebut Perdana Menteri Viktor Orban adalah Chief dari Populisme di Eropa. Tokoh-tokoh seperti Marine Le Pen dari Perancis dan Jaroslaw Kaczynski di Polandia boleh jadi terinspirasi oleh Orban dengan populismenya. Apalagi Orban sudah enam tahun berkuasa di Hungaria dan mengindikasikan semakin kuat.
Austria sepertinya bergerak ke arah populisme dengan pimpinannya Presiden kanan-radikal, Norbert Hofer. Gerakan populisme juga telah mendominasi perpolitikan di Slovakia.  Walau begitu, mewabahnya populisme tidak selalu diartikan kaum populisme memegang pemerintahan. Di negara yang mana kelompok populis tidak berkuasa, mereka mendominasi debat politik.  Kelompok populis nampaknya sudah punya agenda dalam merancang masa depan Eropa. Bahkan ini bisa saja mewabah ke kawasan-kawasan lainnya. Ini akan menjadi kenyataan jika gerakan ini berhasil meningkatkan pengaruhnya di masyarakat.
Sejarah membuktikan bahwa populisme bisa memiliki varian kiri dan varian kanan. Kedua varian ini bahkan saat ini bagaikan bunga yang sedang mekar. Lihat saja dengan Donald Trump, Bernie Sanders, Syriza pemimpin partai kiri di Yunani, dan Front Nasional di Perancis. Sementara Spanyol yang pernah mengalami masa diktator sayap kanan ternyata tidak ada selera terhadap populisme. Jerman saat ini memiliki partai populis kanan, padahal pernah mengalami masa kelam di era diktator fasis kanan.
Bagaimana dengan Amerika Latin? Dimulai dengan keberhasilan Juan Peron pada 1946, dengan gerakan yang diberi nama decamisados yang merupakan populisme ala Amerika Latin - yang terintegrasi ke dalam populisme sampai sekarang, populisme telah mendominasi politik di Amerika Latin. Bahkan jauh sebelum itu, sekitar tahun 1930an populisme sudah menguasai Amerika Latin saat Presiden Getilio Vargas berkuasa di Brazil sampai kepada Evo Morales yang menjadi Presiden Bolivia pada tahun 2006. Hanya belakangan ini gaya kepemimpinan orang kuat di Amerika Latin, grandiose, sudah menyurut pamornya.
Populism pose a lots of threat to the international order. Dampak dari populisme bisa bervariasi. Keinginan gerakan populisme kiri tidak sama dengan gerakan populisme kanan. Pada gerakan populisme kiri umumnya dikaitkan dengan peningkatan belanja pemerintah dan welfare state yang lebih luas. Selain itu, adanya dorongan untuk meregulasi dunia usaha. Sedangkan gerakan populisme kanan memiliki kecenderungan sebaliknya yaitu mengurangi belanja negara dan mengurangi jaminan sosial. Juga gerakan populisme kanan menginginkan gaya pemerintahan dengan kebijakan laissez-faire.
Melihat kecenderungan populisme kiri dan kanan, benang merahnya adalah masalah ekonomi. Meningkatnya prevalensi populisme di Eropa tidak bisa dilepaskan dari menurunnya pertumbuhan ekonomi sejak dekade 1970an. Ini antara lain juga disebabkan karena berkurangnya sumber daya manusia yang memasuki lapangan kerja. Penyebabnya tidak lain karena angka fertilitas di Eropa cenderung menurun. Hal yang sama terjadi di Amerika Serikat.
Catatan yang menarik adalah dampak populisme di Amerika Serikat terkait dengan kemenangan Donald Trump. Kalau semua janji-janjinya dilaksanakan maka akan terjadi belanja infra-struktur yang masif serta tarif tinggi dikenakan bagi produk-produk impor. Juga Trump yang didukung oleh para koleganya para anggota Kongres dari partai Republik, akan menurunkan pajak bisnis bagi orang-orang kaya termasuk dirinya. Selain itu, adalah pengampunan pajak bagi korporasi yang membawa pulang penghasilan dari  keuntungan operasional di luar negeri kembali ke Amerika Serikat.
Dampak utama bagi masyarakat internasional jika gerakan populisme menguat adalah terhadap para imigran. Penanganan para imigran dari Timur Tengah yang membanjiri Eropa akan berubah bahkan terhenti sama sekali jika Angela Marker tidak terpilih kembali sebagai Kanselir Jerman. Sementara itu, pihak partai Demokrat yang minoritas di Kongres dan Senat Amerika Serikat jika Trump akan merealisasikan janjinya membangun tembok sepanjang perbatasan Amerika Serikat dan Meksiko. Kelompok Islam di Amerika Serikat sebagaimana keinginan Trump boleh jadi akan mengalami perlakuan yang tidak menyenangkan.
Lepas dari pro dan kontra terhadap populisme, maka catatan penting adalah keinginan gerakan populisme melawan elite politik yang korup dengan lembaga-lembaga yang mapan. Kita semua mengikuti bagaimana Dilma Rousseff dari Brazil yang dimakzulkan, dan sekarang Park Geun-Hye yang dalam penyelesaian proses pemakzulan. Oleh karena itu, yang akan membendung gerakan populisme adalah institusi yang demokratis, partai dan para politisi yang lebih responsif kepada kebutuhan masyarakat luas.
Bagaimanapun populisme adalah simtom dari demokrasi yang bermasalah. Jika masalah sosial dan ekonomi bisa ditanggulangi maka dengan sendirinya simtom tersebut akan pudar. Sementara itu, keberhasilan dari pemerintahan populisme tolak ukurnya adalah bagaimana mensejahterakan masyarakatnya. Tahun 2017 nampaknya akan terjadi persaingan antara yang pro dan kontra terhadap populisme, khususnya di Eropa dan Amerika Serikat. Kita tunggu dan amati saja.
Memang, suatu kekuatan politik yang populis terbukti ampuh dan tampil sukses berdiri tegak di antara lawan-lawan politiknya. Politik yang populis mampu menarik massa dan mendapat kekuasaan, terlepas akan nilai etis dan kebenaran perhitungan akan kebijakan populis tersebut. Menurut etimologi, populisme berasal dari bahasa latin yaitu populi atau rakyat. Dalam arti luas, populisme adalah upaya mendulang suara untuk meraih suara. Karena itu, populis perlu memiliki pencitraan, sehingga dimanfaatkanlah perasaan dan prejudis rakyat.Populis menawarkan solusi yang disenangi oleh masyarakat, tanpa memikirkan apa yang akan terjadi pada kondisi sosial, ekonomi, dan demokrasi dalam jangka panjang.
Populis menciptakan karakter musuh untuk rakyat dan menciptakan karakter pahlawan bagi mereka sendiri. Fenomena populisme tidak dapat lepas dari demokrasi, karena demokrasi-lah yang menjadi sarana para populis untuk menyuarakan idenya; demokrasi adalah ajang kebebasan berpendapat. Namun populisme sendiri dapat membunuh demokrasi, karena populisme menghasilkan kultus dan kepemimpinan yang bersifat kharismatik. Ketika pemimpin telah mengambil hati rakyat, maka meskipun pemimpin membuat kebijakan yang merugikan, rakyat seolah membenarkan dengan mudah mengenai kejadian tersebut. Bahkan rakyat menjadi tidak peduli jika pemimpin mengambil jalan diktator.
Ketika populis menjadi kebablasan, maka demokrasi akan hilang dan dapat berubah menjadi fasis, seperti Jerman saat era kepemimpinan Hitler, Mussolini di Italia, atau Chavez di Venezuela. Berbagai efek populisme sebenarnya membunuh masyarakat itu sendiri. Masyarakat menjadi tidak pintar, tidak dapat memilah dengan baik antara apa yang diperlukan dengan yang diinginkan. Masyarakat pun mulai memiliki mental yang manja karena segala keinginan selalu dipenuhi oleh pemerintah tanpa memperhatikan realita yang ada. Realita ditutup begitu saja dengan populisme tanpa adanya penyelesaian yang solutif.
Karena cara kerja populisme adalah dengan melalui perasaan masyarakat, sepatutnya kita harus dapat membedakan antara “keinginan” dan “kebutuhan”. Keinginan rakyat adalah harga-harga murah, sedangkan kebutuhan negara adalah menjaga dana APBN agar tidak selalu terlilit hutang. Dengan tidak mencabut subsidi BBM, harga-harga memang murah—pada awalnya—seiring waktu, hutang negara akan makin membesar dan hal ini dapat menjadi bom waktu. Jika tidak segera diselesaikan, dapat diprediksi dengan mudah bahwa akan terjadi inflasi besar-besaran.
Bagaimanapun populisme adalah simtom dari demokrasi yang bermasalah. Jika masalah sosial dan ekonomi bisa ditanggulangi maka dengan sendirinya simtom tersebut akan pudar. Sementara itu, keberhasilan dari pemerintahan populisme tolak ukurnya adalah bagaimana mensejahterakan masyarakatnya. Tahun 2017 nampaknya akan terjadi persaingan antara yang pro dan kontra terhadap populisme, khususnya di Eropa dan Amerika Serikat. Kita tunggu dan amati saja.

Sejatinya, kita perlu menjadi individu yang bijak dalam menyikapi fenomena populisme. Harus dapat kita bedakan antara “keinginan” dan “kebutuhan”. Pemerataan pendidikan perlu lebih ditingkatkan dan diratakan, karena seringkali yang menjadi sasaran populisme ini adalah kalangan menengah ke bawah dengan tingkat pemahaman yang kurang yang menjadi mayoritas di dunia. Saya tidak bermaksud menyinggung, karena apa yang dilakukan kalangan ini bukanlah keinginan sadar mereka. Mereka berpikiran seperti itu karena kita semata-mata terjebak dalam sistem yang tidak membuat pemahaman atau pendidikan yang merata. Maka dari itu untuk memperbaiki tatanan dunia, harus dimulai dengan memperbaiki sistemnya.
Jadi, tidak perlu takut pada tren kebangkitan populisme di pelbagai belahan dunia. Sebab hal itu menandakan bahwa demokrasi liberal dan praktek ekonomi pasar bebas mengalami kegagalan dan kebangkrutan. Sehingga perlu ada suatu gelombang baru perubahan, serta kemunculan sosok-sosok baru di luar pakem demokrasi prosedural yang berlangsung saat ini. Katakan tidak pada Populisme !













SAY NO TO POPULISM!
The direct muti-party system and presidential election system within the framework of democracy has, in turn, been transformed into procedural democracy and tends to be oligarchic. This means that democracy is only enjoyed by party political elites, businessmen / businessmen, and bureaucracy apparatus both at central and regional levels.
Here then dialectically comes the idea based on populism, which the people demanded to be involved in the decision-making process. Because through the current procedural democracy, the aspirations and celebrations of the masses are systematically and planned to be dammed to channel their aspirations.
Populism is defined as an ideology that divides society into two homogeneous and antagonistic groups, pure society and corrupt elites. Moreover, the advocates of populism argue that politics must be an expression of the public's wishes.
Populism does have many meanings. Populism means different for each group. However, the similarity between populism for each group is that it is all the same in terms of suspicion of the elite and all hostile to the elite, hates mainstream politics, and established institutions. In this way, populism represents the forgotten, the marginalized ordinary, often even representing pure patriotism.
Worse still, when in populism it is contained the view that elections and democracy is of no use to the public and the crowd. For such procedural democracies would not be possible for popular-based leaders. And therefore will not give birth to the power of the state that will prosper the people.
In the view of populism, the people perceive the elites who are controlled by the party oligarchy, tend to betray the people and corrupt. Yet when the election process, both elite party oligarchy and elite who participated in presidential election contest, vying to ask for votes from the people.
It is here that dialectically populism emerges and is expected as a solution to overcome the impasse of democracy, hoping to solve the problems of welfare and social justice for society.
Many feared that populism could potentially jeopardize the viability of democracy. But what is the solution to overcome the current democratic deadlock? Let us look outside for a moment. Donald Trump's victory in the US presidential election last year was seen as a phenomenon of rising populism. Of course, in reality we can debate.
Donald Trump's victory over Hillary Clinton in the election of President of the United States shocked globally. No less than a very high-reputation magazine, The Economist, based in London, England called it Trumpquake, the Trump earthquake.
Trump whose background is a business tycoon is very different from his Republican counterparts. Trump is definitely not a Washington-style politician. He came up with a style, a thought, and a plan that contrasts with American politicians generally. Just look at the ways, rhetoric, and threats that he threw in the campaign. Comrades alone contrived confused, let alone opponents. But it seems the people of the United States are happy with Trump, at least some of the people of the United States who chose him.
Trump-like styles that hit the already established political elite seem to be plaguing the World. The prevalence rate is increasing in some countries in Europe. Just look at Hungary, can be called Prime Minister Viktor Orban is Chief of Populism in Europe. Figures such as Marine Le Pen of France and Jaroslaw Kaczynski in Poland may have been inspired by Orban with its populism. Moreover Orban has six years in power in Hungary and indicates the stronger.
Austria seems to be moving toward populism with its radical right-wing president, Norbert Hofer. The populist movement has also dominated politics in Slovakia. However, the outbreak of populism does not necessarily mean that populism holds the government. In a country where populist groups are not in power, they dominate the political debate. The populist group seems to have had an agenda in designing the future of Europe. Even this could be epidemic to other areas. This will become a reality if this movement succeeds in increasing its influence in society.
History proves that populism can have a variant of the left and the right variant. Both variants are even today like a flower that is in bloom. Look at it with Donald Trump, Bernie Sanders, Syriza leader of the left party in Greece, and the National Front in France. While the Spanish who had experienced a right wing dictator turned out to have no appetite for populism. Germany currently has the right populist party, whereas it has experienced a dark period in the era of the right fascist dictator.
What about Latin America? Starting with the success of Juan Peron in 1946, with a movement dubbed decamisados ​​which is Latin American populism - integrated into populism until now, populism has dominated politics in Latin America. Even long before that, around the 1930s populism had dominated Latin America when President Getilio Vargas came to power in Brazil until Evo Morales, who was president of Bolivia in 2006. Only recently has the stronger leadership style of Latin American grandiose diminished.
Populism pose a lot of threat to the international order. The effects of populism can vary. The desire of leftist populism is not the same as the right populist movement. In leftist populism movements are generally associated with increased government spending and welfare state more broadly. In addition, there is a push to regulate the business world. While the right populist movement has the opposite tendency of reducing state expenditure and reducing social security. Also the right populist movement wants a style of government with laissez-faire policy.
Given the tendency of left and right populism, the red thread is an economic problem. The increasing prevalence of populism in Europe can not be separated from the decline of economic growth since the 1970s. This is partly due to the decrease in human resources entering the workforce. The cause is none other than because the fertility rate in Europe tends to decline. The same thing happened in the United States.
Interesting note is the impact of populism in the United States associated with the victory of Donald Trump. If all of its promises are made there will be massive infra-structure spending and high tariffs imposed on imported products. Also Trump, supported by colleagues of Republican congressmen, will lower the business tax for the rich including him. In addition, it is a tax pardon for corporations that bring home income from operating profits abroad back to the United States.
The main impact for the international community if the populist movement is stronger is against immigrants. The handling of immigrants from the Middle East who flooded Europe will change even stalled if Angela Marker is not re-elected as the German Chancellor. Meanwhile, the minority Democrats in Congress and the United States Senate if Trump will realize its promise to build a wall along the border of the United States and Mexico. Islamic groups in the United States as Trump wishes may be subjected to unpleasant treatment.
Apart from the pros and cons of populism, an important note is the desire of the populist movement against the corrupt political elite with established institutions. We all follow how Dilma Rousseff of Brazil is impeached, and now Park Geun-Hye is in the process of impeachment completion. Therefore, what will stem the populist movement is democratic institutions, parties and politicians who are more responsive to the needs of the wider community.
However populism is the symptom of a troubled democracy. If social and economic problems can be addressed then by itself the symptoms will fade. Meanwhile, the success of the populist government's benchmark is how to prosper society. The year 2017 seems to be a competition between the pros and cons against populism, especially in Europe and the United States. We wait and observe it.
Indeed, a populist political power proves to be successful and stands out successfully among its political opponents. Populist politics are able to attract the masses and gain power, regardless of the ethical and truthfulness of the calculation of the populist policy. According to etymology, populism derives from the Latin language of populi or the people. In a broad sense, populism is the effort to get votes to gain votes. Therefore, populists need to have imagery, so that the feelings and prejudices of the people will be utilized. Popularists offer solutions that are favored by the community, without thinking about what will happen to long-term social, economic, and democratic conditions.
Populists create enemy characters for the people and create their own hero characters. The phenomenon of populism can not be separated from democracy, because it is the democracy that the populist means to voice his ideas; democracy is a place of freedom of expression. But populism itself can kill democracy, because populism produces cult and leadership that is charismatic. When leaders have taken the hearts of the people, even though leaders make harmful policies, the people seem to justify the incident easily. Even the people become indifferent if the leader takes the path of the dictator.
When populists become excessive, democracy will disappear and become fascist, like Germany during the era of Hitler's leadership, Mussolini in Italy, or Chavez in Venezuela. Various effects of populism actually kill the community itself. Society becomes not smart, can not sort out well between what is needed and the desired. People began to have a spoiled mentality because everything is always met by the government without regard to the reality that exists. Reality ceases with populism without a solute solution.
Because the way populism works is through people's feelings, we should be able to distinguish between "desire" and "need". People's desires are cheap prices, while the state's need is to keep state budget funds in order not to always be in debt. By not removing fuel subsidies, prices are cheap-at first-over time, the debt of the state will grow and this can be a time bomb. If not immediately resolved, it can be easily predicted that there will be massive inflation.
However populism is the symptom of a troubled democracy. If social and economic problems can be addressed then by itself the symptoms will fade. Meanwhile, the success of the populist government's benchmark is how to prosper society. The year 2017 seems to be a competition between the pros and cons against populism, especially in Europe and the United States. We wait and observe it.
Indeed, we need to be a wise individual in addressing the phenomenon of populism. We must distinguish between "desire" and "need". Equity of education needs to be further improved and leveled, because often the target of this populism is the lower middle class with the level of lack of understanding that became the majority in the world. I do not mean to offend, because what these people do is not their conscious desire. They think like that because we are just stuck in a system that does not make sense or education equally. Therefore, to improve the world order, it must begin by improving the system.
So, there is no need to fear the rise of populism trend in various parts of the world. For it indicates that liberal democracy and free market economy practice fail and bankruptcy. So there needs to be a new wave of change, and the emergence of new figures outside the democratic process of procedural democracy that takes place today. Say no to Populism!


0 komentar:

Post a Comment