SAY
NO TO POPULISM!
Sistem
muti-partai dan sistem pemilihan presiden secara langsung yang berada dalan
bingkai demokrasi, pada gilirannya telah menjelma menjadi demokrasi procedural
dan cenderung bersifat oligarki. Artinya demokrasi hanya dinikmati para elit
politik partai, para pengusaha/pelaku bisnis, dan aparat birokrasi baik di
tingkat pusat maupun daerah.
Di
sinilah kemudian secara dialektis muncul gagasan berbasis populisme, yang mana
rakyat menuntut dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Sebab melalui
demokrasi prosedural seperti sekarang ini, aspirasi dan hajatan rakyat banyak
justru secara sistematis dan terencana dibendung untuk menyalurkan aspirasinya.
Populisme
didefinisikan sebagai suatu ideologi yang memisahkan masyarakat ke dalam
dua kelompok yang homogen dan antagonis, masyarakat yang murni dan elite yang
korup. Selain itu, para penyokong populisme berpendapat bahwa politik harus
merupakan ekspresi dari keinginan umum masyarakat.
Populisme
memang mempunyai beragam arti. Populisme artinya berbeda untuk tiap kelompok.
Namun demikian, persamaan di antara populisme untuk setiap kelompok adalah
bahwa semuanya sama dalam hal kecurigaan terhadap elite dan semua memusuhi
elite , membenci mainstream politics (arus utama dalam politik), dan
institusi yang mapan. Dengan cara ini, populisme mewakili mereka yang
dilupakan, orang biasa yang terpinggirkan, bahkan seringkali merasa mewakili
patriotisme murni.
Lebih
celaka lagi, ketika dalam paham populisme tersebut terkandung pandangan bahwa
pemilu dan demokrasi tidak ada gunanya bagi masyarakat dan orang banyak. Sebab
demokrasi prosedural seperti itu tidak mungkin akan lahir para pemimpin yang
berbasis kerakyatan. Dan karenanya tidak akan melahirkan kekuasaan negara yang
akan menyejahterakan rakyat.
Dalam
pandangan populisme, rakyat memandang para elit yang dikendalikan oleh
oligarki partai, cenderung berkhianat kepada rakyat dan korup. Padahal ketika
proses pemilu, baik elit oligarki partai maupun elit yang ikut dalam kontestasi
pemilu presiden, berlomba-lomba meminta dukungan suara dari rakyat.
Di
sinilah secara dialektis populisme muncul dan diharapkan sebagai solusi
mengatasi kebuntuan demokrasi, seraya berharap agar dapat menyelesaikan
masalah-masalah kesejahteraan dan keadilan sosial bagi masyarakat.
Banyak
kalangan khawatir populisme berpotensi membahayakan kelangsungan hidup
demokrasi. Namun bagaimana solusi untuk mengatasi jalan buntu demokrasi saat
ini? Marilah kita menengok sejenak ke luar. Kemenangan Donald Trump pada
pilpres AS tahun lalu, dipandang sebagai fenomena bangkitnya populisme. Tentu
saja pada kenyataannya bisa kita perdebatkan.
Kemenangan
Donald Trump atas Hillary Clinton dalam pemilihan Presiden Amerika Serikat
mengagetkan secara global. Tidak kurang dari majalah yang sangat tinggi
reputasinya, The Economist yang berpusat di London, Inggris menyebutnya
sebagai Trumpquake, gempa Trump.
Trump
yang latar belakangnya adalah business tycoon sangat berbeda dengan
rekan-rekannya dari partai Republik. Trump jelas bukan politisi gaya Washington.
Dia datang dengan gaya, pemikiran, dan rencana yang bertolak belakang dengan
politisi-politisi Amerika Serikat umumnya. Tengok saja cara, retorika, dan
ancaman yang ia lontarkan ketika kampanye. Kawan saja dibikin bingung, apalagi
lawan. Tapi nampaknya rakyat Amerika Serikat senang dengan Trump, setidaknya
sebagian rakyat Amerika Serikat yang memilih dia.
Gaya
seperti Trump yang menghantam para elite politik yang sudah mapan sepertinya
sedang mewabah di Dunia. Tingkat prevalensinya meningkat di beberapa negara di
Eropa. Tengok saja di Hungaria, bisa disebut Perdana Menteri Viktor Orban
adalah Chief dari Populisme di Eropa. Tokoh-tokoh seperti Marine Le
Pen dari Perancis dan Jaroslaw Kaczynski di Polandia boleh jadi terinspirasi
oleh Orban dengan populismenya. Apalagi Orban sudah enam tahun berkuasa di
Hungaria dan mengindikasikan semakin kuat.
Austria
sepertinya bergerak ke arah populisme dengan pimpinannya Presiden
kanan-radikal, Norbert Hofer. Gerakan populisme juga telah mendominasi
perpolitikan di Slovakia. Walau begitu, mewabahnya populisme tidak selalu
diartikan kaum populisme memegang pemerintahan. Di negara yang mana kelompok
populis tidak berkuasa, mereka mendominasi debat politik. Kelompok
populis nampaknya sudah punya agenda dalam merancang masa depan Eropa. Bahkan
ini bisa saja mewabah ke kawasan-kawasan lainnya. Ini akan menjadi kenyataan
jika gerakan ini berhasil meningkatkan pengaruhnya di masyarakat.
Sejarah
membuktikan bahwa populisme bisa memiliki varian kiri dan varian kanan. Kedua
varian ini bahkan saat ini bagaikan bunga yang sedang mekar. Lihat saja dengan
Donald Trump, Bernie Sanders, Syriza pemimpin partai kiri di Yunani, dan Front
Nasional di Perancis. Sementara Spanyol yang pernah mengalami masa diktator
sayap kanan ternyata tidak ada selera terhadap populisme. Jerman saat ini
memiliki partai populis kanan, padahal pernah mengalami masa kelam di era
diktator fasis kanan.
Bagaimana
dengan Amerika Latin? Dimulai dengan keberhasilan Juan Peron pada 1946, dengan
gerakan yang diberi nama decamisados yang merupakan populisme ala
Amerika Latin - yang terintegrasi ke dalam populisme sampai sekarang, populisme
telah mendominasi politik di Amerika Latin. Bahkan jauh sebelum itu, sekitar
tahun 1930an populisme sudah menguasai Amerika Latin saat Presiden Getilio
Vargas berkuasa di Brazil sampai kepada Evo Morales yang menjadi Presiden
Bolivia pada tahun 2006. Hanya belakangan ini gaya kepemimpinan orang kuat di
Amerika Latin, grandiose, sudah menyurut pamornya.
Populism
pose a lots of threat to the international order. Dampak dari populisme bisa
bervariasi. Keinginan gerakan populisme kiri tidak sama dengan gerakan
populisme kanan. Pada gerakan populisme kiri umumnya dikaitkan dengan
peningkatan belanja pemerintah dan welfare state yang lebih
luas. Selain itu, adanya dorongan untuk meregulasi dunia usaha. Sedangkan
gerakan populisme kanan memiliki kecenderungan sebaliknya yaitu mengurangi
belanja negara dan mengurangi jaminan sosial. Juga gerakan populisme kanan
menginginkan gaya pemerintahan dengan kebijakan laissez-faire.
Melihat
kecenderungan populisme kiri dan kanan, benang merahnya adalah masalah ekonomi.
Meningkatnya prevalensi populisme di Eropa tidak bisa dilepaskan dari
menurunnya pertumbuhan ekonomi sejak dekade 1970an. Ini antara lain juga
disebabkan karena berkurangnya sumber daya manusia yang memasuki lapangan
kerja. Penyebabnya tidak lain karena angka fertilitas di Eropa cenderung
menurun. Hal yang sama terjadi di Amerika Serikat.
Catatan
yang menarik adalah dampak populisme di Amerika Serikat terkait dengan
kemenangan Donald Trump. Kalau semua janji-janjinya dilaksanakan maka akan
terjadi belanja infra-struktur yang masif serta tarif tinggi dikenakan bagi
produk-produk impor. Juga Trump yang didukung oleh para koleganya para anggota
Kongres dari partai Republik, akan menurunkan pajak bisnis bagi orang-orang
kaya termasuk dirinya. Selain itu, adalah pengampunan pajak bagi korporasi yang
membawa pulang penghasilan dari keuntungan operasional di luar negeri
kembali ke Amerika Serikat.
Dampak
utama bagi masyarakat internasional jika gerakan populisme menguat adalah
terhadap para imigran. Penanganan para imigran dari Timur Tengah yang
membanjiri Eropa akan berubah bahkan terhenti sama sekali jika Angela Marker
tidak terpilih kembali sebagai Kanselir Jerman. Sementara itu, pihak partai
Demokrat yang minoritas di Kongres dan Senat Amerika Serikat jika Trump akan
merealisasikan janjinya membangun tembok sepanjang perbatasan Amerika Serikat
dan Meksiko. Kelompok Islam di Amerika Serikat sebagaimana keinginan Trump
boleh jadi akan mengalami perlakuan yang tidak menyenangkan.
Lepas
dari pro dan kontra terhadap populisme, maka catatan penting adalah keinginan
gerakan populisme melawan elite politik yang korup dengan lembaga-lembaga yang
mapan. Kita semua mengikuti bagaimana Dilma Rousseff dari Brazil yang
dimakzulkan, dan sekarang Park Geun-Hye yang dalam penyelesaian proses
pemakzulan. Oleh karena itu, yang akan membendung gerakan populisme adalah
institusi yang demokratis, partai dan para politisi yang lebih responsif kepada
kebutuhan masyarakat luas.
Bagaimanapun
populisme adalah simtom dari demokrasi yang bermasalah. Jika masalah sosial dan
ekonomi bisa ditanggulangi maka dengan sendirinya simtom tersebut akan pudar.
Sementara itu, keberhasilan dari pemerintahan populisme tolak ukurnya adalah
bagaimana mensejahterakan masyarakatnya. Tahun 2017 nampaknya akan terjadi
persaingan antara yang pro dan kontra terhadap populisme, khususnya di Eropa
dan Amerika Serikat. Kita tunggu dan amati saja.
Memang,
suatu kekuatan politik yang populis terbukti ampuh dan tampil sukses berdiri
tegak di antara lawan-lawan politiknya. Politik yang populis mampu menarik
massa dan mendapat kekuasaan, terlepas akan nilai etis dan kebenaran
perhitungan akan kebijakan populis tersebut. Menurut etimologi, populisme
berasal dari bahasa latin yaitu populi atau rakyat. Dalam arti luas, populisme
adalah upaya mendulang suara untuk meraih suara. Karena itu, populis perlu
memiliki pencitraan, sehingga dimanfaatkanlah perasaan dan prejudis
rakyat.Populis menawarkan solusi yang disenangi oleh masyarakat, tanpa
memikirkan apa yang akan terjadi pada kondisi sosial, ekonomi, dan demokrasi
dalam jangka panjang.
Populis
menciptakan karakter musuh untuk rakyat dan menciptakan karakter pahlawan bagi
mereka sendiri. Fenomena populisme tidak dapat lepas dari demokrasi, karena
demokrasi-lah yang menjadi sarana para populis untuk menyuarakan idenya;
demokrasi adalah ajang kebebasan berpendapat. Namun populisme sendiri dapat
membunuh demokrasi, karena populisme menghasilkan kultus dan kepemimpinan yang
bersifat kharismatik. Ketika pemimpin telah mengambil hati rakyat, maka
meskipun pemimpin membuat kebijakan yang merugikan, rakyat seolah membenarkan
dengan mudah mengenai kejadian tersebut. Bahkan rakyat menjadi tidak peduli
jika pemimpin mengambil jalan diktator.
Ketika
populis menjadi kebablasan, maka demokrasi akan hilang dan dapat berubah
menjadi fasis, seperti Jerman saat era kepemimpinan Hitler, Mussolini di
Italia, atau Chavez di Venezuela. Berbagai efek populisme sebenarnya membunuh
masyarakat itu sendiri. Masyarakat menjadi tidak pintar, tidak dapat memilah
dengan baik antara apa yang diperlukan dengan yang diinginkan. Masyarakat pun
mulai memiliki mental yang manja karena segala keinginan selalu dipenuhi oleh
pemerintah tanpa memperhatikan realita yang ada. Realita ditutup begitu saja
dengan populisme tanpa adanya penyelesaian yang solutif.
Karena
cara kerja populisme adalah dengan melalui perasaan masyarakat, sepatutnya kita
harus dapat membedakan antara “keinginan” dan “kebutuhan”. Keinginan rakyat
adalah harga-harga murah, sedangkan kebutuhan negara adalah menjaga dana APBN
agar tidak selalu terlilit hutang. Dengan tidak mencabut subsidi BBM,
harga-harga memang murah—pada awalnya—seiring waktu, hutang negara akan makin
membesar dan hal ini dapat menjadi bom waktu. Jika tidak segera diselesaikan,
dapat diprediksi dengan mudah bahwa akan terjadi inflasi besar-besaran.
Bagaimanapun
populisme adalah simtom dari demokrasi yang bermasalah. Jika masalah sosial dan
ekonomi bisa ditanggulangi maka dengan sendirinya simtom tersebut akan pudar.
Sementara itu, keberhasilan dari pemerintahan populisme tolak ukurnya adalah
bagaimana mensejahterakan masyarakatnya. Tahun 2017 nampaknya akan terjadi persaingan
antara yang pro dan kontra terhadap populisme, khususnya di Eropa dan Amerika
Serikat. Kita tunggu dan amati saja.
Sejatinya, kita perlu menjadi individu yang bijak dalam menyikapi fenomena populisme. Harus dapat kita bedakan antara “keinginan” dan “kebutuhan”. Pemerataan pendidikan perlu lebih ditingkatkan dan diratakan, karena seringkali yang menjadi sasaran populisme ini adalah kalangan menengah ke bawah dengan tingkat pemahaman yang kurang yang menjadi mayoritas di dunia. Saya tidak bermaksud menyinggung, karena apa yang dilakukan kalangan ini bukanlah keinginan sadar mereka. Mereka berpikiran seperti itu karena kita semata-mata terjebak dalam sistem yang tidak membuat pemahaman atau pendidikan yang merata. Maka dari itu untuk memperbaiki tatanan dunia, harus dimulai dengan memperbaiki sistemnya.
Sejatinya, kita perlu menjadi individu yang bijak dalam menyikapi fenomena populisme. Harus dapat kita bedakan antara “keinginan” dan “kebutuhan”. Pemerataan pendidikan perlu lebih ditingkatkan dan diratakan, karena seringkali yang menjadi sasaran populisme ini adalah kalangan menengah ke bawah dengan tingkat pemahaman yang kurang yang menjadi mayoritas di dunia. Saya tidak bermaksud menyinggung, karena apa yang dilakukan kalangan ini bukanlah keinginan sadar mereka. Mereka berpikiran seperti itu karena kita semata-mata terjebak dalam sistem yang tidak membuat pemahaman atau pendidikan yang merata. Maka dari itu untuk memperbaiki tatanan dunia, harus dimulai dengan memperbaiki sistemnya.
Jadi,
tidak perlu takut pada tren kebangkitan populisme di pelbagai belahan dunia.
Sebab hal itu menandakan bahwa demokrasi liberal dan praktek ekonomi pasar
bebas mengalami kegagalan dan kebangkrutan. Sehingga perlu ada suatu gelombang
baru perubahan, serta kemunculan sosok-sosok baru di luar pakem demokrasi
prosedural yang berlangsung saat ini. Katakan tidak pada Populisme !
SAY
NO TO POPULISM!
The
direct muti-party system and presidential election system within the framework
of democracy has, in turn, been transformed into procedural democracy and tends
to be oligarchic. This means that democracy is only enjoyed by party political
elites, businessmen / businessmen, and bureaucracy apparatus both at central
and regional levels.
Here
then dialectically comes the idea based on populism, which the people demanded
to be involved in the decision-making process. Because through the current
procedural democracy, the aspirations and celebrations of the masses are
systematically and planned to be dammed to channel their aspirations.
Populism
is defined as an ideology that divides society into two homogeneous and
antagonistic groups, pure society and corrupt elites. Moreover, the advocates
of populism argue that politics must be an expression of the public's wishes.
Populism
does have many meanings. Populism means different for each group. However, the
similarity between populism for each group is that it is all the same in terms
of suspicion of the elite and all hostile to the elite, hates mainstream
politics, and established institutions. In this way, populism represents the
forgotten, the marginalized ordinary, often even representing pure patriotism.
Worse
still, when in populism it is contained the view that elections and democracy
is of no use to the public and the crowd. For such procedural democracies would
not be possible for popular-based leaders. And therefore will not give birth to
the power of the state that will prosper the people.
In
the view of populism, the people perceive the elites who are controlled by the
party oligarchy, tend to betray the people and corrupt. Yet when the election
process, both elite party oligarchy and elite who participated in presidential
election contest, vying to ask for votes from the people.
It
is here that dialectically populism emerges and is expected as a solution to
overcome the impasse of democracy, hoping to solve the problems of welfare and
social justice for society.
Many
feared that populism could potentially jeopardize the viability of democracy.
But what is the solution to overcome the current democratic deadlock? Let us
look outside for a moment. Donald Trump's victory in the US presidential
election last year was seen as a phenomenon of rising populism. Of course, in
reality we can debate.
Donald
Trump's victory over Hillary Clinton in the election of President of the United
States shocked globally. No less than a very high-reputation magazine, The
Economist, based in London, England called it Trumpquake, the Trump earthquake.
Trump
whose background is a business tycoon is very different from his Republican
counterparts. Trump is definitely not a Washington-style politician. He came up
with a style, a thought, and a plan that contrasts with American politicians
generally. Just look at the ways, rhetoric, and threats that he threw in the
campaign. Comrades alone contrived confused, let alone opponents. But it seems
the people of the United States are happy with Trump, at least some of the
people of the United States who chose him.
Trump-like
styles that hit the already established political elite seem to be plaguing the
World. The prevalence rate is increasing in some countries in Europe. Just look
at Hungary, can be called Prime Minister Viktor Orban is Chief of Populism in
Europe. Figures such as Marine Le Pen of France and Jaroslaw Kaczynski in
Poland may have been inspired by Orban with its populism. Moreover Orban has
six years in power in Hungary and indicates the stronger.
Austria
seems to be moving toward populism with its radical right-wing president,
Norbert Hofer. The populist movement has also dominated politics in Slovakia.
However, the outbreak of populism does not necessarily mean that populism holds
the government. In a country where populist groups are not in power, they
dominate the political debate. The populist group seems to have had an agenda
in designing the future of Europe. Even this could be epidemic to other areas.
This will become a reality if this movement succeeds in increasing its
influence in society.
History
proves that populism can have a variant of the left and the right variant. Both
variants are even today like a flower that is in bloom. Look at it with Donald
Trump, Bernie Sanders, Syriza leader of the left party in Greece, and the
National Front in France. While the Spanish who had experienced a right wing
dictator turned out to have no appetite for populism. Germany currently has the
right populist party, whereas it has experienced a dark period in the era of
the right fascist dictator.
What
about Latin America? Starting with the success of Juan Peron in 1946, with a
movement dubbed decamisados which is Latin American populism - integrated
into populism until now, populism has dominated politics in Latin America. Even
long before that, around the 1930s populism had dominated Latin America when
President Getilio Vargas came to power in Brazil until Evo Morales, who was
president of Bolivia in 2006. Only recently has the stronger leadership style
of Latin American grandiose diminished.
Populism
pose a lot of threat to the international order. The effects of populism can
vary. The desire of leftist populism is not the same as the right populist
movement. In leftist populism movements are generally associated with increased
government spending and welfare state more broadly. In addition, there is a
push to regulate the business world. While the right populist movement has the
opposite tendency of reducing state expenditure and reducing social security.
Also the right populist movement wants a style of government with laissez-faire
policy.
Given
the tendency of left and right populism, the red thread is an economic problem.
The increasing prevalence of populism in Europe can not be separated from the
decline of economic growth since the 1970s. This is partly due to the decrease
in human resources entering the workforce. The cause is none other than because
the fertility rate in Europe tends to decline. The same thing happened in the
United States.
Interesting
note is the impact of populism in the United States associated with the victory
of Donald Trump. If all of its promises are made there will be massive
infra-structure spending and high tariffs imposed on imported products. Also
Trump, supported by colleagues of Republican congressmen, will lower the
business tax for the rich including him. In addition, it is a tax pardon for
corporations that bring home income from operating profits abroad back to the
United States.
The
main impact for the international community if the populist movement is
stronger is against immigrants. The handling of immigrants from the Middle East
who flooded Europe will change even stalled if Angela Marker is not re-elected
as the German Chancellor. Meanwhile, the minority Democrats in Congress and the
United States Senate if Trump will realize its promise to build a wall along
the border of the United States and Mexico. Islamic groups in the United States
as Trump wishes may be subjected to unpleasant treatment.
Apart
from the pros and cons of populism, an important note is the desire of the
populist movement against the corrupt political elite with established
institutions. We all follow how Dilma Rousseff of Brazil is impeached, and now
Park Geun-Hye is in the process of impeachment completion. Therefore, what will
stem the populist movement is democratic institutions, parties and politicians
who are more responsive to the needs of the wider community.
However
populism is the symptom of a troubled democracy. If social and economic
problems can be addressed then by itself the symptoms will fade. Meanwhile, the
success of the populist government's benchmark is how to prosper society. The
year 2017 seems to be a competition between the pros and cons against populism,
especially in Europe and the United States. We wait and observe it.
Indeed,
a populist political power proves to be successful and stands out successfully
among its political opponents. Populist politics are able to attract the masses
and gain power, regardless of the ethical and truthfulness of the calculation
of the populist policy. According to etymology, populism derives from the Latin
language of populi or the people. In a broad sense, populism is the effort to
get votes to gain votes. Therefore, populists need to have imagery, so that the
feelings and prejudices of the people will be utilized. Popularists offer
solutions that are favored by the community, without thinking about what will
happen to long-term social, economic, and democratic conditions.
Populists
create enemy characters for the people and create their own hero characters.
The phenomenon of populism can not be separated from democracy, because it is
the democracy that the populist means to voice his ideas; democracy is a place
of freedom of expression. But populism itself can kill democracy, because
populism produces cult and leadership that is charismatic. When leaders have
taken the hearts of the people, even though leaders make harmful policies, the
people seem to justify the incident easily. Even the people become indifferent
if the leader takes the path of the dictator.
When
populists become excessive, democracy will disappear and become fascist, like
Germany during the era of Hitler's leadership, Mussolini in Italy, or Chavez in
Venezuela. Various effects of populism actually kill the community itself.
Society becomes not smart, can not sort out well between what is needed and the
desired. People began to have a spoiled mentality because everything is always
met by the government without regard to the reality that exists. Reality ceases
with populism without a solute solution.
Because
the way populism works is through people's feelings, we should be able to
distinguish between "desire" and "need". People's desires
are cheap prices, while the state's need is to keep state budget funds in order
not to always be in debt. By not removing fuel subsidies, prices are cheap-at
first-over time, the debt of the state will grow and this can be a time bomb.
If not immediately resolved, it can be easily predicted that there will be massive
inflation.
However
populism is the symptom of a troubled democracy. If social and economic
problems can be addressed then by itself the symptoms will fade. Meanwhile, the
success of the populist government's benchmark is how to prosper society. The
year 2017 seems to be a competition between the pros and cons against populism,
especially in Europe and the United States. We wait and observe it.
Indeed,
we need to be a wise individual in addressing the phenomenon of populism. We
must distinguish between "desire" and "need". Equity of
education needs to be further improved and leveled, because often the target of
this populism is the lower middle class with the level of lack of understanding
that became the majority in the world. I do not mean to offend, because what
these people do is not their conscious desire. They think like that because we
are just stuck in a system that does not make sense or education equally.
Therefore, to improve the world order, it must begin by improving the system.
So,
there is no need to fear the rise of populism trend in various parts of the
world. For it indicates that liberal democracy and free market economy practice
fail and bankruptcy. So there needs to be a new wave of change, and the
emergence of new figures outside the democratic process of procedural democracy
that takes place today. Say no to Populism!
0 komentar:
Post a Comment