PERSAINGAN PRODUK IMPOR DAN PRODUK LOKAL
Oleh : Desak Anugrah Dwi Kusuma
Belakangan
ini, topik bahasan mengenai persaingan antara produk lokal dan produk impor mulai
hangat untuk diperbincangkan. Apalagi kalau dihubungkan dengan MEA. MEA merupakan singkatan dari Masyarakat Ekonomi
ASEAN yang memiliki pola mengintegrasikan ekonomi ASEAN dengan
cara membentuk sistem perdagangan bebas atau free trade antara negara-negara anggota ASEAN. Dibentuknya MEA membawa tujuan yang amat mulia, yakni
agar negara anggota ASEAN bisa meningkatkan daya saingnya hingga dapat
menyaingi Cina dan India dalam menarik investor impor.
Tertariknya investor asing untuk menanam
modal di kawasan ASEAN akan meningkatkan lapangan pekerjaan dan kesejahteraan
masyarakat. Para anggota ASEAN
termasuk Indonesia telah menyepakati Masyarakat Ekonomi ASEAN tersebut. Indonesia mulai resmi masuk MEA pada 4 Januari 2016[1].
Itu artinya, Indonesia sudah lebih mudah memasarkan barang maupun jasa ke semua
negara anggota ASEAN, begitupula dengan semua barang dan jasa negara-negara
ASEAN yang lebih bebas untuk masuk ke Indonesia.
Salah
satu kata kunci yang harus kita renungkan adalah ‘daya saing’. Kalau sudah
masuk MEA, otomatis Indonesia harus bersaing dengan negara-negara ASEAN yang
lain. Ibaratnya, Indonesia harus meningkatkan kecepatannya yang dari 15 km/jam
menjadi 100 km/jam agar nantinya tidak ditinggal negara ASEAN lainnya. Jika
tertinggal, ekonomi Indonesia akan semakin terpuruk karena kalah saing dan
tidak membuat para investor impor tertarik menanamkan modalnya di sini.
Disamping
itu, produk lokal dan produk impor sudah mudah sekali berbaur di masyarakat.
Hampir seluruh convention store seperti,
Indomaret dan Alfamart menjual produk impor. Sebagai konsumen Indonesia, tentu
asal produk tersebut dianggap tidak penting untuk diketahui, bahkan menganggap
bahwa tanggal kadaluarsa lah yang terpenting untuk dibaca pertama kali. Itu
memang kebebasan semua orang untuk memilih, tapi hal ini membuat makin
tergerusnya produk lokal Indonesia. Ketidakpedulian konsumen terhadap produk
lokal adalah salah satu akar kalahnya produk lokal dalam persaingan. Kebanyakan
dari kita, termasuk saya, sangat kagum dengan produk impor. Padahal belum tentu
kualitasnya lebih dari produk lokal. Dimulai dari packaging yang terlihat ‘wah’, dan iklan di TV yang sungguh
berkelas serta menggiurkan.
Sebelum
konsumen akan memutuskan untuk membeli suatu produk, terdapat dua hal yang
biasanya menjadi penentu utama dari keputusan pembelian konsumen tersebut,
yaitu adanya persepsi konsumen terhadap kualitas dari produk dan faktor
prestige dari produk tersebut. Baik untuk merek lokal maupun merek impor, kedua
faktor tersebut masih tetap berlaku.
Namun
khususnya bagi konsumen yang lebih cenderung untuk memilih merek-merek produk impor,
sudah jelas bahwa mereka memiliki persepsi bahwa merek impor memiliki kualitas
(Perceived Brand Quality / Kualitas Merek yang Bisa Diterima) yang lebih baik
daripada merek lokal, sekaligus sebagai Brand Prestige yang lebih tinggi
daripada merek-merek lokal lainnya. Faktor kualitas yang dimaksudkan disini
adalah selain kualitas dari produk itu sendiri, sudah termasuk juga service
yang telah diberikan seperti halnya after sales service setelah produk terbeli.
Contohnya
saja, persaingan antara pensil Faber-Castell Made In Malaysia dengan pensil
lokal ‘I Love Indonesia’ sangat jelas terlihat. Konsumen Indonesia lebih
memilih Faber-Castell impor dari Malaysia. Konsumen lebih melihat kualitas
daripada label negara dimana produk tersebut dibuat. Terlebih lagi, produk
coklat yang beredar di pasaran. Misalnya, Choco Pie (Made in Vietnam) yang
bahkan lebih gampang dijumpai daripada Chocodot. Chocodot adalah coklat asli
Garut, Jawa Barat yang memiliki keunikan tersendiri. Awalnya, cokelat ini hanya
punya varian rasa cokelat dodol. Tetapi seiring berjalannya waktu, cokelat
ini memiliki berbagai varian dari green tea hingga rasa buah. Begitupula
dengan Pod Chocolate yang sangat jarang saya temui di convention store padahal coklat ini menggunakan bunga lontar
sebagai pemanisnya (bukan gula putih). Selain itu, cokelat asal Bali ini juga
menyediakan tur untuk yang ingin belajar proses pembuatan cokelat. Sungguh
banyak manfaatnya jika coklat ini bisa lebih terkenal daripada coklat impor
yang beredar banyak di pasaran.
Bagi
produk merek impor, faktor harga yang lebih tinggi dan faktor kelangkaan malah
bisa semakin meningkatkan kecenderungan para konsumen untuk lebih memburunya.
Hal ini karena merek impor yang lebih sukar ditemukan dan berharga sangat mahal
malah justru akan dipersepsikan oleh para konsumen sebagai sebuah produk yang
lebih berkualitas dan memiliki prestige yang lebih tinggi.
Namun
selain dari kedua faktor (kualitas dan prestige) diatas, terdapat juga faktor
Consumer Ethnocentrism yang bisa diartikan sebagai seberapa besar rasa nasionalisme
dari para konsumen? Nasionalisme yang tinggi dari para konsumen akan bisa
semakin mendorongnya untuk lebih memilih merek-merek lokal daripada keinginan
pribadi untuk membeli merek-merek impor.
Dalam
hal ini, merek lokal malah memiliki keunggulan yang lebih baik daripada
merek-merek impor, yang mana merek lokal seringkali dipandang sebagai sebuah
merek yang (lebih memahami) selera lokal daripada merek impor. Merek lokal
dianggap semakin lebih (membumi) daripada merek impor, karena merek lokal akan
lebih terhubung dengan tradisi dan budaya lokal. Konsumen bisa jadi memiliki
ketertarikan yang lebih terhadap merek impor, namun karena mereka merasa lebih
familiar dengan merek lokal serta karena merasa lebih bangga dengan memakai
produk lokal, maka merekapun akan lebih cenderung untuk memilih produk lokal.
Pertanyaannya selanjutnya adalah,
apakah rasa nasionalisme dari konsumen kita sudah cukup tinggi sehingga mereka
tetap bisa memilih merek lokal daripada merek impor? Pertanyaaan selanjutnya
adalah, apakah kita sudah cukup hanya dengan mengandalkan rasa nasionalisme
saja agar merek-merek lokal bisa menjadi pemenang dalam persaingan dengan
merek-merek impor? Tentu saja kita pun harus tetap memperhatikan juga dari
faktor kualitas dan prestige dari merek lokal tersebut agar dapat bersaing
dengan merek impor.
Satu
hal lagi yang sudah memainkan peranan penting selain hanya persepsi terhadap
kualitas dan prestige dari sebuah produk adalah efek dari adanya Country of
Origin (Negara asal). Konsumen akan lebih cenderung untuk menyimpulkan bahwa
persepsi dan opini mereka tentang produk yang berasal dari negara tertentu,
berdasarkan dari pengalaman untuk menggunakan, pengetahuan tentang produk
tersebut dan negara asalnya, serta berbagai atribut dari produk yang biasanya
lebih menonjol bagi mereka.
Kita
bisa lihat kenyataan di masyarakat yang lebih menghargai durian Bangkok
daripada durian lokal. Bahkan, harganya pun jauh lebih mahal dan masyarakat
bisa menerima itu karena kualitas durian Bangkok sangat jelas lebih baik dari
durian lokal. Tapi, nama ‘Bangkok’ tersebut tentu sangat berdampak bagi durian
lokal. Bangkok adalah ibukota Thailand. Sudah jelas durian asal Indonesia asli
kalah saing dengan durian yang asalnya dari Thailand (walau sudah banyak
dikembangbiakkan di Indonesia). Kita juga terkadang terlalu kagum dengan
sebutan negara asal. Misal, coklat ‘Belgia’ padahal coklat Indonesia tidak
kalah dalam segi rasa. Ada pula kopi ‘Brazil’ padahal ada kopi Banyuatis dari
yang lebih autentik rasanya.
Inilah
fenomena dimana jika seseorang ditanya apakah kamu mau beli Ramen ? Maka orang
mungkin akan langsung menyebut sebuah toko Ramen terkenal di Jepang karena
memiliki rasa yang autentik. Kalau mau ingin beli mobil hemat, maka orang
langsung berpikir merek Jepang. Kalau mau beli pisau, seketika berpikir membeli
pisau Made in Germany. Stereotip ini lah yang menyebabkan produk lokal susah
bersaing dengan produk luar negeri.
Stereotip
Country of Origin (negara asal) sudah jelas bisa sangat mempengaruhi keputusan
para konsumen dalam membeli merek produk lokal atau ingin membeli merek produk
impor. Negara asal didefinisikan sebagai perusahaan atau kantor pusat untuk memasarkan
produk tersebut dan negara asal dimana produk tersebut telah diproduksi. Dalam
hal ini suatu merek dari produk bisa menanamkan persepsi global kepada benak
para konsumen di seluruh dunia tentang produknya sampai mampu tampil dengan
lebih menonjol dalam dunia persaingan global.
Stereotipe ini dapat menjadi prasangka
positif dan juga negatif, dan kadang-kadang dijadikan alasan untuk melakukan
tindakan diskriminatif. Bahkan dampaknya bisa menyebabkan terjadinya
diskriminasi produk lokal di negara sendiri. Konyol bukan ?
Diskriminasi
produk lokal adalah pelayanan yang tidak adil terhadap produk lokal di mana
layanan ini dibuat berdasarkan karakteristik yang diwakili oleh produk lokal
tersebut. Ada banyak bentuk
diskriminasi yang bisa timbul. Contohnya, diskriminasi harga. Diskriminasi
harga adalah kebijaksanaan untuk memberlakukan harga jual yang
berbeda-beda untuk satu jenis barang yang sama di segmen pasar yang berbeda.
Hanya karena merek yang terkenal, maka dijual dengan harga yang mahal, seperti fashion bermerek “Gucci” dan “Supreme”.
Padahal, banyak fashion brand lokal yang tidak kalah kualitasnya
dengan fashion tersebut.
Tentu ini menjadi suatu ancaman untuk
negara-negara ASEAN yang sudah masuk dalam MEA, khususnya Indonesia. Semakin
bebas barang atau jasa masuk ke dalam negara ini, malah membuat produk lokal
semakin terinjak-injak. Sedangkan, produk lokal untuk diekspor jumlahnya masih
timpang dengan produk impor yang masuk. Free
Trade menjadi senjata makan tuan untuk bangsa yang tidak mampu meningkatkan
daya saingnya.
Dari renungan itu semua, bisa ditarik
kesimpulan bahwa kalau kita kurang mencintai produk dalam negeri kita sendiri,
kapan mau berkembangnya produk dalam negeri kita. Suksesnya produk-produk asing
itu terlebih dahulu disebabkan oleh kecintaan mereka terhadap produk
mereka sendiri. Tapi, semua pilihan ada dalam benak setiap orang. Karena,
setiap orang memiliki opini dan alasan yang berbeda-beda untuk membeli suatu
barang. Jika saya bertanya pilihannya hanya antara impor dan lokal, mungkin
akan ada konsumen yang bilang
“tergantung asal produknya reliable
dan aman, boleh impor dan lokal” atau “kalau ada sepatu kulit lokal yang
bagus untuk apa beli sepatu kulit impor yang harganya jutaan?” atau bahkan
mungkin ada yang menjawab “impor, bung!”.
Sebagai
pihak netral saya mungkin akan menjawab, “yang terpenting kualitas. Kalau
kualitasnya sama, saya pilih yang harganya lebih terjangkau. Kalau kualitas dan
harganya sama, saya pilih yang lebih mudah didapat. Kalau kualitas, harga, dan
ketersediannya sama, baru saya pastikan pilih produk lokal.”
[1] https://bisnis.tempo.co/read/732756/mea-mulai-berlaku-hari-ini-apa-saja-produk-andalan-indonesia
0 komentar:
Post a Comment