About

Wednesday 26 December 2018

Essay tentang Persaingan Produk Lokal terhadap Produk Impor


PERSAINGAN PRODUK IMPOR DAN PRODUK LOKAL
Oleh : Desak Anugrah Dwi Kusuma
          Belakangan ini, topik bahasan mengenai persaingan antara produk lokal dan produk impor mulai hangat untuk diperbincangkan. Apalagi kalau dihubungkan dengan MEA. MEA merupakan singkatan dari Masyarakat Ekonomi ASEAN yang memiliki pola mengintegrasikan ekonomi ASEAN dengan cara membentuk sistem perdagangan bebas atau free trade antara negara-negara anggota ASEAN. Dibentuknya MEA membawa tujuan yang amat mulia, yakni agar negara anggota ASEAN bisa meningkatkan daya saingnya hingga dapat menyaingi Cina dan India dalam menarik investor impor.
Tertariknya investor asing untuk menanam modal di kawasan ASEAN akan meningkatkan lapangan pekerjaan dan kesejahteraan masyarakat. Para anggota ASEAN termasuk Indonesia telah menyepakati Masyarakat Ekonomi ASEAN tersebut. Indonesia mulai resmi masuk MEA pada 4 Januari 2016[1]. Itu artinya, Indonesia sudah lebih mudah memasarkan barang maupun jasa ke semua negara anggota ASEAN, begitupula dengan semua barang dan jasa negara-negara ASEAN yang lebih bebas untuk masuk ke Indonesia.
          Salah satu kata kunci yang harus kita renungkan adalah ‘daya saing’. Kalau sudah masuk MEA, otomatis Indonesia harus bersaing dengan negara-negara ASEAN yang lain. Ibaratnya, Indonesia harus meningkatkan kecepatannya yang dari 15 km/jam menjadi 100 km/jam agar nantinya tidak ditinggal negara ASEAN lainnya. Jika tertinggal, ekonomi Indonesia akan semakin terpuruk karena kalah saing dan tidak membuat para investor impor tertarik menanamkan modalnya di sini.
          Disamping itu, produk lokal dan produk impor sudah mudah sekali berbaur di masyarakat. Hampir seluruh convention store seperti, Indomaret dan Alfamart menjual produk impor. Sebagai konsumen Indonesia, tentu asal produk tersebut dianggap tidak penting untuk diketahui, bahkan menganggap bahwa tanggal kadaluarsa lah yang terpenting untuk dibaca pertama kali. Itu memang kebebasan semua orang untuk memilih, tapi hal ini membuat makin tergerusnya produk lokal Indonesia. Ketidakpedulian konsumen terhadap produk lokal adalah salah satu akar kalahnya produk lokal dalam persaingan. Kebanyakan dari kita, termasuk saya, sangat kagum dengan produk impor. Padahal belum tentu kualitasnya lebih dari produk lokal. Dimulai dari packaging yang terlihat ‘wah’, dan iklan di TV yang sungguh berkelas serta menggiurkan.
Sebelum konsumen akan memutuskan untuk membeli suatu produk, terdapat dua hal yang biasanya menjadi penentu utama dari keputusan pembelian konsumen tersebut, yaitu adanya persepsi konsumen terhadap kualitas dari produk dan faktor prestige dari produk tersebut. Baik untuk merek lokal maupun merek impor, kedua faktor tersebut masih tetap berlaku.
Namun khususnya bagi konsumen yang lebih cenderung untuk memilih merek-merek produk impor, sudah jelas bahwa mereka memiliki persepsi bahwa merek impor memiliki kualitas (Perceived Brand Quality / Kualitas Merek yang Bisa Diterima) yang lebih baik daripada merek lokal, sekaligus sebagai Brand Prestige yang lebih tinggi daripada merek-merek lokal lainnya. Faktor kualitas yang dimaksudkan disini adalah selain kualitas dari produk itu sendiri, sudah termasuk juga service yang telah diberikan seperti halnya after sales service setelah produk terbeli.
Contohnya saja, persaingan antara pensil Faber-Castell Made In Malaysia dengan pensil lokal ‘I Love Indonesia’ sangat jelas terlihat. Konsumen Indonesia lebih memilih Faber-Castell impor dari Malaysia. Konsumen lebih melihat kualitas daripada label negara dimana produk tersebut dibuat. Terlebih lagi, produk coklat yang beredar di pasaran. Misalnya, Choco Pie (Made in Vietnam) yang bahkan lebih gampang dijumpai daripada Chocodot. Chocodot adalah coklat asli Garut, Jawa Barat yang memiliki keunikan tersendiri. Awalnya, cokelat ini hanya punya varian rasa cokelat dodol. Tetapi seiring berjalannya waktu, cokelat ini  memiliki berbagai varian dari green tea hingga rasa buah. Begitupula dengan Pod Chocolate yang sangat jarang saya temui di convention store padahal coklat ini menggunakan bunga lontar sebagai pemanisnya (bukan gula putih). Selain itu, cokelat asal Bali ini juga menyediakan tur untuk yang ingin belajar proses pembuatan cokelat. Sungguh banyak manfaatnya jika coklat ini bisa lebih terkenal daripada coklat impor yang beredar banyak di pasaran.
Bagi produk merek impor, faktor harga yang lebih tinggi dan faktor kelangkaan malah bisa semakin meningkatkan kecenderungan para konsumen untuk lebih memburunya. Hal ini karena merek impor yang lebih sukar ditemukan dan berharga sangat mahal malah justru akan dipersepsikan oleh para konsumen sebagai sebuah produk yang lebih berkualitas dan memiliki prestige yang lebih tinggi.
Namun selain dari kedua faktor (kualitas dan prestige) diatas, terdapat juga faktor Consumer Ethnocentrism yang bisa diartikan sebagai seberapa besar rasa nasionalisme dari para konsumen? Nasionalisme yang tinggi dari para konsumen akan bisa semakin mendorongnya untuk lebih memilih merek-merek lokal daripada keinginan pribadi untuk membeli merek-merek impor.
Dalam hal ini, merek lokal malah memiliki keunggulan yang lebih baik daripada merek-merek impor, yang mana merek lokal seringkali dipandang sebagai sebuah merek yang (lebih memahami) selera lokal daripada merek impor. Merek lokal dianggap semakin lebih (membumi) daripada merek impor, karena merek lokal akan lebih terhubung dengan tradisi dan budaya lokal. Konsumen bisa jadi memiliki ketertarikan yang lebih terhadap merek impor, namun karena mereka merasa lebih familiar dengan merek lokal serta karena merasa lebih bangga dengan memakai produk lokal, maka merekapun akan lebih cenderung untuk memilih produk lokal.
          Pertanyaannya selanjutnya adalah, apakah rasa nasionalisme dari konsumen kita sudah cukup tinggi sehingga mereka tetap bisa memilih merek lokal daripada merek impor? Pertanyaaan selanjutnya adalah, apakah kita sudah cukup hanya dengan mengandalkan rasa nasionalisme saja agar merek-merek lokal bisa menjadi pemenang dalam persaingan dengan merek-merek impor? Tentu saja kita pun harus tetap memperhatikan juga dari faktor kualitas dan prestige dari merek lokal tersebut agar dapat bersaing dengan merek impor.
Satu hal lagi yang sudah memainkan peranan penting selain hanya persepsi terhadap kualitas dan prestige dari sebuah produk adalah efek dari adanya Country of Origin (Negara asal). Konsumen akan lebih cenderung untuk menyimpulkan bahwa persepsi dan opini mereka tentang produk yang berasal dari negara tertentu, berdasarkan dari pengalaman untuk menggunakan, pengetahuan tentang produk tersebut dan negara asalnya, serta berbagai atribut dari produk yang biasanya lebih menonjol bagi mereka.
Kita bisa lihat kenyataan di masyarakat yang lebih menghargai durian Bangkok daripada durian lokal. Bahkan, harganya pun jauh lebih mahal dan masyarakat bisa menerima itu karena kualitas durian Bangkok sangat jelas lebih baik dari durian lokal. Tapi, nama ‘Bangkok’ tersebut tentu sangat berdampak bagi durian lokal. Bangkok adalah ibukota Thailand. Sudah jelas durian asal Indonesia asli kalah saing dengan durian yang asalnya dari Thailand (walau sudah banyak dikembangbiakkan di Indonesia). Kita juga terkadang terlalu kagum dengan sebutan negara asal. Misal, coklat ‘Belgia’ padahal coklat Indonesia tidak kalah dalam segi rasa. Ada pula kopi ‘Brazil’ padahal ada kopi Banyuatis dari yang lebih autentik rasanya.
Inilah fenomena dimana jika seseorang ditanya apakah kamu mau beli Ramen ? Maka orang mungkin akan langsung menyebut sebuah toko Ramen terkenal di Jepang karena memiliki rasa yang autentik. Kalau mau ingin beli mobil hemat, maka orang langsung berpikir merek Jepang. Kalau mau beli pisau, seketika berpikir membeli pisau Made in Germany. Stereotip ini lah yang menyebabkan produk lokal susah bersaing dengan produk luar negeri.
Stereotip Country of Origin (negara asal) sudah jelas bisa sangat mempengaruhi keputusan para konsumen dalam membeli merek produk lokal atau ingin membeli merek produk impor. Negara asal didefinisikan sebagai perusahaan atau kantor pusat untuk memasarkan produk tersebut dan negara asal dimana produk tersebut telah diproduksi. Dalam hal ini suatu merek dari produk bisa menanamkan persepsi global kepada benak para konsumen di seluruh dunia tentang produknya sampai mampu tampil dengan lebih menonjol dalam dunia persaingan global.
Stereotipe ini dapat menjadi prasangka positif dan juga negatif, dan kadang-kadang dijadikan alasan untuk melakukan tindakan diskriminatif. Bahkan dampaknya bisa menyebabkan terjadinya diskriminasi produk lokal di negara sendiri. Konyol bukan ?
Diskriminasi produk lokal adalah pelayanan yang tidak adil terhadap produk lokal di mana layanan ini dibuat berdasarkan karakteristik yang diwakili oleh produk lokal tersebut. Ada banyak bentuk diskriminasi yang bisa timbul. Contohnya, diskriminasi harga. Diskriminasi harga adalah kebijaksanaan untuk memberlakukan harga jual yang berbeda-beda untuk satu jenis barang yang sama di segmen pasar yang berbeda. Hanya karena merek yang terkenal, maka dijual dengan harga yang mahal, seperti fashion bermerek “Gucci” dan “Supreme”. Padahal, banyak fashion brand lokal yang tidak kalah kualitasnya dengan fashion tersebut.
Tentu ini menjadi suatu ancaman untuk negara-negara ASEAN yang sudah masuk dalam MEA, khususnya Indonesia. Semakin bebas barang atau jasa masuk ke dalam negara ini, malah membuat produk lokal semakin terinjak-injak. Sedangkan, produk lokal untuk diekspor jumlahnya masih timpang dengan produk impor yang masuk. Free Trade menjadi senjata makan tuan untuk bangsa yang tidak mampu meningkatkan daya saingnya.
Dari renungan itu semua, bisa ditarik kesimpulan bahwa kalau kita kurang mencintai produk dalam negeri kita sendiri, kapan mau berkembangnya produk dalam negeri kita. Suksesnya produk-produk asing itu terlebih dahulu  disebabkan oleh kecintaan mereka terhadap produk mereka sendiri. Tapi, semua pilihan ada dalam benak setiap orang. Karena, setiap orang memiliki opini dan alasan yang berbeda-beda untuk membeli suatu barang. Jika saya bertanya pilihannya hanya antara impor dan lokal, mungkin akan ada konsumen yang bilang  “tergantung asal produknya reliable dan aman, boleh impor dan lokal” atau “kalau ada sepatu kulit lokal yang bagus untuk apa beli sepatu kulit impor yang harganya jutaan?” atau bahkan mungkin ada yang menjawab “impor, bung!”.
Sebagai pihak netral saya mungkin akan menjawab, “yang terpenting kualitas. Kalau kualitasnya sama, saya pilih yang harganya lebih terjangkau. Kalau kualitas dan harganya sama, saya pilih yang lebih mudah didapat. Kalau kualitas, harga, dan ketersediannya sama, baru saya pastikan pilih produk lokal.”








         



[1] https://bisnis.tempo.co/read/732756/mea-mulai-berlaku-hari-ini-apa-saja-produk-andalan-indonesia

0 komentar:

Post a Comment