About

Wednesday 26 December 2018

AWAL PERKEMBANGAN AGAMA HINDU DI BALI


Awal Perkembangan Agama Hindu di Bali

Masuknya agama Hindu di Bali diperkirakan sebelum abad ke-8 Masehi, karena pada abad ke-8 telah dijumpai fragmen-fragmen prasasti yang didapatkan di Pejeng berbahasa Sanskerta. Ditinjau dari segi bentuk hurufnya diduga sejaman dengan meterai tanah liat yang memuat mantra Buddha yang dikenal dengan “Ye te mantra”, yang diperkirakan berasal dari tahun 778 Masehi. Pada baris pertama dari dalam prasasti itu menyebutkan kata“Sivas.......ddh.......” yang oleh para ahli, terutama Dr. R. Goris menduga kata yang sudah haus itu kemungkinan ketika utuh berbunyi: “Siva Siddhanta”. Dengan demikian pada abad ke-8 , Paksa (Sampradaya atau Sekta) Siva Siddhanta telah berkembang di Bali. Sampai ditulisnya sebuah prasasti tentunya menunjukkan agama itu telah berkembang secara meluas dan mendalam diyakini oleh raja dan rakyat saat itu. Meluas dan mendalamnya ajaran agama dianut oleh raja dan rakyat tentunya melalui proses yang cukup panjang, oleh karena itu agama Hindu (sekta Siva Siddhanta) sudah masuk secara perlahan-lahan sebelum abad ke-8 Masehi.Bukti lain yang merupakan awal penyebaran agama Hindu di Bali adalah ditemukannya arca Siva di pura Putra Bhatara Desa di desa Bedaulu, Gianyar. Arca tersebut merupakan satu tipe (style) dengan arca-arca Siva dari candi Dieng yang berasal dari abad ke-8 yang menurut Stutterheim tergolong berasal dari periode seni arca Hindu Bali.

Dalam prasasti Sukawana, Bangli yang memuat angka 882 Masehi, menyebutkan adanya tiga tokoh agama yaitu Bhiksu Sivaprajna, Bhiksu Siwa Nirmala dan Bhiksu Sivakangsita membangun pertapaan di Cintamani, menunjukkan kemungkinan telah terjadi sinkretisme antara Siva dan Buddha di Bali dan bila kita melihat akar perkembangannya kedua agama tersebut sesungguhnya berasal dari pohon yang sama, yakni agama Hindu. Berkembangnya dan terjadinya sinkretisme antara Sivaisme dan Buddhisme di Bali sebenarnya diduga lebih menampakkan diri pada masa pemerintahan raja besar Dharma Udayana Varmadeva, karena kedua agama tersebut menjadi agama negara.

Bersamaan dengan datangnya agama Hindu ke Bali, pada abad ke-8 juga dijumpai peninggalan-peninggalan yang menunjukkan masuknya agama Buddha Mahayana. Bukti masuknya agama Buddha Mahayana di Bali dapat diketahui dari stupika-stupika tanah liat yang tersebar di daerah Pejeng Selatan, Titiapi dan Blahbatuh, Gianyar. Seluruh stupika di pura Penataran Sasih, Pejeng dapat diselamatakan dan dipindahkan ke Museum Bali. Sekitar abad ke-13 Masehi, di Bali berkembang pula sekta Bhairava dengan peninggalan berupa arca-arca Bhairava di pura Kebo Edan Pejeng. Sekta ini mungkin berkembang sebagai akibat adanya hubungan politis dengan kerajaan Singhasari (Singosari) di jawa Timur pada masa pemerintahan raja Kertanegara. Berdasarkan data sejarah tersebut, ternyata perkembangan awal kedatangan agama Hindu (Sivaisme) dan Buddha (Mahayana) hampir pada saat yang bersamaman dan bahkan akhirnya agama Buddha Mahayana ini luluh ke dalam agama Hindu seperti diwarisi di Bali saat ini.

Pada masa Bali Kuno merupakan masa tumbuh dan berkembangnya agama Hindu yang mencapai kejayaan pada abad ke-10 dengan ditandai oleh berkuasanya raja suami istri Dharma Udayana Varmadeva dan Gunapriyadharmapatni. Pada masa pemerintahan raja ini terjadi proses Jawanisasi di Bali, yakni prasasti-prasasti berbahasa Bali Kuno digantikan dengan bahasa Jawa Kuno dan susastra Hindu berbahasa Jawa Kuno dibawa dari Jawa dan dikembangkan di Bali. Saat itu di Bali berkembang ajaran Hindu yang disebut sekta. Sekta-sekta yang berkembang di Bali, yang menurut penelitian Dr. R.Goris (1926) dalam (http://kodoknyitnyit.blogspot.com ) jumlahnya 9 sekta, yang terdiri dari : Siva Siddhanta, Pasupata, Bhairava, Vaisnava, Bodha (Soghata), Brahmana, Rsi, Sora (Surya) dan Ganapatya. Sedangkan dalam beberapa lontar di Bali disebutkannya 6 sekta (disebut Sad Agama), yang terdiri dari Sambhu, Brahma, Indra, Bayu, Visnu dan Kala. Di antara seluruh sekta tersebut, rupanya yang sangat dominan dan mewarnai kehidupan agama Hindu di Bali adalah Siva Siddhanta dengan peninggalan beberapa buah lontar (teks) antara lain: Bhuvanakosa, Vrhaspatitattva, Tattvajnana, Sang Hyang Mahajnana, Catur Yuga, Vidhisastra dan lain-lain. Mudra dan Kutamantra yang dilaksanakan oleh para pandita Hindu di Bali dalam aktivitas ritual pelaksanaan Pujaparikrama bersumber pada ajaran Siva Siddhanta.



Masa Bali Kuno ini berakhir dengan pemerintahan raja Astasura-ratnabhumibanten yang ditundukkan oleh ekspedisi Majapahit dibawah pimpinan mahapatih Gajah Mada. Pada masa Bali Kuno ini (antara abad ke-10 sampai dengan ke-14) pertumbuhan agama Hindu demikian pesat. Pada masa pemerintahan raja Dharma Udayana, seorang pandita Hindu bernama Mpu Rajakerta menjabat Senapati I Kuturan (semacam perdana mentri) yang menata kehidupan keagamaan dengan baik dan terwarisi hingga kini.

  Tokoh-Tokoh Penyebaran Agama Hindu di Bali
Dalam perkembangan Agama Hindu di bali terdapat enam tokoh suci yang sangat berpeerran penting. Keenam tokoh suci itu antara lain:

1.             DANGHYANG MARKANDEYA
Pada abad ke-8 beliau mendapat pencerahan di Gunung Di Hyang (sekarang Dieng, Jawa Timur) bahwa bangunan palinggih di Tolangkir (sekarang Besakih) harus ditanami panca datu yang terdiri dari unsur-unsur emas, perak, tembaga, besi, dan permata mirah. Setelah menetap di Taro, Tegal lalang - Gianyar, beliau memantapkan ajaran Siwa Sidhanta kepada para pengikutnya dalam bentuk ritual: Surya sewana, Bebali (Banten), dan Pecaruan. Karena semua ritual menggunakan banten atau bebali maka ketika itu agama ini dinamakan Agama Bali. Daerah tempat tinggal beliau dinamakan Bali.

Jadi yang bernama Bali mula-mula hanya daerah Taro saja, namun kemudian pulau ini dinamakan Bali karena penduduk di seluruh pulau melaksanakan ajaran Siwa Sidanta menurut petunjuk-petunjuk Danghyang Markandeya yang menggunakan bebali atau banten. Selain Besakih, beliau juga membangun pura-pura Sad Kahyangan lainnya yaitu : Batur, Sukawana, Batukaru, Andakasa, dan Lempuyang. Beliau juga mendapat pencerahan ketika Hyang Widhi berwujud sebagai sinar terang gemerlap yang menyerupai sinar matahari dan bulan.

Oleh karena itu beliau menetapkan bahwa warna merah sebagai simbol matahari dan warna putih sebagai simbol bulan digunakan dalam hiasan di Pura antara lain berupa ider-ider, lelontek, dll. Selain itu beliau mengenalkan hari Tumpek Kandang untuk mohon keselamatan pada Hyang Widhi, digelari Rare Angon yang menciptakan darah, dan hari Tumpek Pengatag untuk menghormati Hyang Widhi, digelari Sanghyang Tumuwuh yang menciptakan getah.

2.             MPU SANGKULPUTIH
Setelah Danghyang Markandeya moksah, Mpu Sangkulputih meneruskan dan melengkapi ritual bebali antara lain dengan membuat variasi dan dekorasi yang menarik untuk berbagai jenis banten dengan menambahkan unsur-unsur tetumbuhan lainnya seperti daun sirih, daun pisang, daun janur, buah-buahan: pisang, kelapa, dan biji-bijian: beras, injin, kacang komak. Bentuk banten yang diciptakan antara lain canang sari, canang tubugan, canang raka, daksina, peras, panyeneng, tehenan, segehan, lis, nasi panca warna, prayascita, durmenggala, pungu-pungu, beakala, ulap ngambe, dll. Banten dibuat menarik dan indah untuk menggugah rasa bhakti kepada Hyang Widhi agar timbul getaran-getaran spiritual. Di samping itu beliau mendidik para pengikutnya menjadi sulinggih dengan gelar Dukuh, Prawayah, dan Kabayan. Beliau juga pelopor pembuatan arca/pralingga dan patung-patung Dewa yang dibuat dari bahan batu, kayu, atau logam sebagai alat konsentrasi dalam pemujaan Hyang Widhi tidak kurang pentingnya, beliau mengenalkan tata cara pelaksanan peringatan hari Piodalan di Pura Besakih dan pura-pura lainnya, ritual hari-hari raya : Galungan, Kuningan, Pagerwesi, Nyepi, dll. Jabatan resmi beliau adalah Sulinggih yang bertanggung jawab di Pura Besakih dan pura-pura lainnya yang telah didirikan oleh Danghyang Markandeya.

3.             MPU KUTURAN
Pada abad ke-11 datanglah ke Bali seorang Brahmana dari Majapahit yang berperan sangat besar pada kemajuan Agama Hindu di Bali. Seperti disebutkan oleb R. Goris pada masa Bali Kuna berkembang suatu kehidupan keagamaan yang bersifat sektarian. Ada sembilan sekte yang pernah berkembang pada masa Bali Kuna antara lain sekte Pasupata, Bhairawa, Siwa Shidanta, Waisnawa, Bodha, Brahma, Resi, Sora dan Ganapatya.

Diantara sekte-sekte tersebut Çiwa Sidhanta merupakan sekte yang sangat dominan (Ardhana 1989:56). Masing-masing sekte memuja Dewa-Dewa tertentu sebagai istadewatanya atau sebagai Dewa Utamanya dengan Nyasa (simbol) tertentu serta berkeyakinan bahwa istadewatalah yang paling utama sedangkan yang lainnya dianggap lebih rendah.Perbedaan-perbedaan itu akhirnya menimbulkan pertentangan antara satu sekte dengan sekte yang lainnya yang menyebabkan timbulnya ketegangan dan sengketa didalam tubuh masyarakat Bali Aga.

Inilah yang merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban di masyarakat yang membawa dampak negative pada hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat. Akibat yang bersifat negative ini bukan saja menimpa desa bersangkutan, tetapi meluas sampai pada pemerintahan kerajaan sehingga roda pemerintahan menjadi kurang lancar dan terganggu.

Dalam kondisi seperti itu, Raja Gunaprya Dharmapatni/Udayana Warmadewa perlu mendatangkan rohaniawan dari Jawa Timur yang oleh Gunaprya Dharmapatni sudah dikenal sejak dahulu semasih beliau ada di Jawa Timur. Oleh karena itu Raja Gunaprya Dharmapatni/Udayana Warmadewa bersekepatan untuk mendatangkan 4 orang Brahmana bersaudara yaitu:

a.             Mpu Semeru, dari sekte Ciwa tiba di Bali pada hari jumat Kliwon, wuku Pujut, bertepatan dengan hari Purnamaning Kawolu, candra sengkala jadma siratmaya muka yaitu tahun caka 921 (999M) lalu berparhyangan di Besakih.

b.             Mpu Ghana, penganut aliran Gnanapatya tiba di Bali pada hari Senin Kliwon, wuku Kuningan tanggal 7 tahun caka 922 (1000M), lalu berparhyangan di Gelgel.

c.             Mpu Kuturan, pemeluk agama Budha dari aliran Mahayana tiba di Bali pada hari Rabu Kliwon wuku pahang, maduraksa (tanggal ping 6), candra sengkala agni suku babahan atau tahun caka 923 (1001M), selanjutnya berparhyangan di Cilayukti (Padang)

d.              Mpu Gnijaya, pemeluk Brahmaisme tiba di Bali pada hari Kamis Umanis, wuku Dungulan, bertepatan sasih kadasa, prati padha cukla (tanggal 1), candra sengkala mukaa dikwitangcu (tahun caka 928 atau 1006M) lalu berparhyangan di bukit Bisbis (Lempuyang).
Sebenarnya keempat orang Brahmana ini di Jawa Timur bersaudara 5 orang yaitu adiknya yang bungsu bernama Mpu Bharadah ditinggalkan di Jawa Timur dengan berparhyangan di Lemahtulis, Pajarakan. Kelima orang Brahmana ini lazim disebut Panca Pandita atau “Panca Tirtha” karena beliau telah melaksanakan upacara “wijati” yaitu menjalankan dharma “Kabrahmanan”. Dalan suatu rapat majelis yang diadakan di Bata Anyar yang dihadiri oleh unsur tiga kekuatan pada saat itu, yaitu :

1.             Dari pihak Budha Mahayana diwakili oleh Mpu Kuturan yang juga sebagai ketua siding
2.             Dari pihak Ciwa diwakili oleh Mpu Semeru
3.             Dari pihak 6 sekte yang pemukanya adalah orang Bali Aga

Dalam rapat majelis tersebut Mpu Kuturan membahas bagaimana menyederhanakan keagamaan di Bali, yg terdiri dari berbagai aliran. Tatkala itu semua hadirin setuju untuk menegakkan paham Tri Murti (Brahma,Wisnu,Ciwa) untuk menjadi inti keagamaan di Bali dan yang layak dianggap sebagai perwujudan atau manifestasi dari Sang Hyang Widhi Wasa.Konsesus yang tercapai pada waktu itu menjadi keputusan pemerintah kerajaan, dimana ditetapkan bahwa semua aliran di Bali ditampung dalam satu wadah yang disebut “Ciwa Budha” sebagai persenyawaan Ciwa dan Budha.



Semenjak itu penganut Ciwa Budha harus mendirikan tiga buah bangunan suci (pura) untuk memuja Sang Hyang Widhi Wasa dalam perwujudannya yang masing-masing bernama:

1.             Pura Desa Bale Agung untuk memuja kemuliaan Brahma sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan)
2.             Pura Puseh untuk memuja kemulian Wisnu sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa
3.             Pura Dalem untuk memuja kemuliaan Bhatari Durga yaitu caktinya Bhatara Ciwa sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa

Ketiga pura tersebut disebut Pura “Kahyangan Tiga” yang menjadi lambang persatuan umat Ciwa Budha di Bali. Sekaligus dengan dikristalisasinya seluruh sekta tersebut dalam pemujaan kepada Tri Murti menjadi landasan dalam pembangunan Desa Krama (Pakraman) atau desa Adat di Bali. Sejak saat itu berbagai perubahan diciptakan oleh Mpu Kuturan, baik dalam bidang politik, social, dan spiritual. Jika sebelum keempat Brahmana tersebut semua prasasti ditulis dengan menggunakan huruf Bali Kuna, maka sesudah itu mulai ditulis dengan bahasa Jawa Kuna (Kawi).

Akhirnya di bekas tempat rapat itu dibangun sebuah pura yang diberi nama Pura Samuan Tiga.Atas wahyu Hyang Widhi beliau mempunyai pemikiran-pemikiran cemerlang mengajak umat Hindu di Bali mengembangkan konsep Trimurti dalam wujud simbol palinggih Kemulan Rong Tiga di tiap perumahan, Pura Kahyangan Tiga di tiap Desa Adat, dan Pembangunan Pura-pura Kiduling Kreteg (Brahma), Batumadeg (Wisnu), dan Gelap (Siwa), serta Padma Tiga, di Besakih. Paham Trimurti adalah pemujaan manifestasi Hyang Widhi dalam posisi horizontal (pangider-ider).

4.             MPU MANIK ANGKERAN
Setelah Mpu Sangkulputih moksah, tugas-tugas beliau diganti oleh Mpu Manik Angkeran. Beliau adalah Brahmana dari Majapahit putra Danghyang Siddimantra. Dengan maksud agar putranya ini tidak kembali ke Jawa dan untuk melindungi Bali dari pengaruh luar, maka tanah genting yang menghubungkan Jawa dan Bali diputus dengan memakai kekuatan bathin Danghyang Siddimantra. Tanah genting yang putus itu disebut segara rupek.

5.             MPU JIWAYA
Beliau menyebarkan Agama Budha Mahayana aliran Tantri terutama kepada kaum bangsawan di zaman Dinasti Warmadewa (abad ke-9). Sisa-sisa ajaran itu kini dijumpai dalam bentuk kepercayaan kekuatan mistik yang berkaitan dengan keangkeran (tenget) dan pemasupati untuk kesaktian senjata-senjata alat perang, topeng, barong, dll.

6.             DANGHYANG DWIJENDRA
Datang di Bali pada abad ke-14 ketika Kerajaan Bali Dwipa dipimpin oleh Dalem Waturenggong. Atas wahyu Hyang Widhi di Purancak, Jembrana, Beliau mempunyai pemikiran-pemikiran cemerlang bahwa di Bali perlu dikembangkan paham Tripurusa yakni pemujaan Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai Siwa, Sadha Siwa, dan Parama Siwa. Bentuk bangunan pemujaannya adalah Padmasari atau Padmasana. Jika konsep Trimurti dari Mpu Kuturan adalah pemujaan Hyang Widhi dalam kedudukan horizontal, maka konsep Tripurusa adalah pemujaan Hyang Widhi dalam kedudukan vertikal. Ketika itu Bali Dwipa mencapai jaman keemasan, karena semua bidang kehidupan rakyat ditata dengan baik. Hak dan kewajiban para bangsawan diatur, hukum dan peradilan adat/agama ditegakkan, prasasti-prasasti yang memuat silsilah leluhur tiap-tiap soroh/klan disusun. Awig-awig Desa Adat pekraman dibuat, organisasi subak ditumbuh-kembangkan dan kegiatan keagamaan ditingkatkan. Selain itu beliau juga mendorong penciptaan karya-karya sastra yang bermutu tinggi dalam bentuk tulisan lontar, kidung atau kekawin.




Karya sastra beliau yang terkenal antara lain : Sebun bangkung, Sara kusuma, Legarang, Mahisa langit, Dharma pitutur, Wilet Demung Sawit, Gagutuk menur, Brati Sesana, Siwa Sesana, Aji Pangukiran, dll. Beliau juga aktif mengunjungi rakyat di berbagai pedesaan untuk memberikan Dharma wacana. Saksi sejarah kegiatan ini adalah didirikannya Pura-Pura untuk memuja beliau di tempat mana beliau pernah bermukim membimbing umat misalnya :  Pura Purancak, Pura Rambut Siwi, Pura Pakendungan, Pura Hulu Watu, Pura Bukit Gong, Pura Bukit Payung,Pura Sakenan, Pura Air Jeruk, Pura Tugu, Pura Tengkulak, Pura Gowa Lawah, Pura Ponjok Batu, Pura Suranadi (Lombok), Pura Pangajengan,  Pura Masceti, Pura Peti Tenget, PuraAmertasari, Pura Melanting, Pura Pulaki, Pura Bukcabe, Pura Dalem Gandamayu, Pura Pucak Tedung, dll.

Ke-enam tokoh suci tersebut telah memberi ciri yang khas pada kehidupan beragama Hindu di Bali sehingga terwujudlah tattwa dan ritual yang khusus yang membedakan Hindu-Bali dengan Hindu di luar Bali.

 Perkembangan Agama Hindu Setelah Runtuhnya Kerajaan-Kerajaan Di Bali Sampai Sekarang
Perkembangan selanjutnya, setelah runtuhnya kerajaan-kerajaan di Bali pembinaan kehidupan keagamaan sempat mengalami kemunduran. Namun mulai tahun 1921 usaha pembinaan muncul dengan adanya Suita Gama Tirtha di Singaraja, Sara Poestaka tahun 1923 di Ubud Gianyar, Surya kanta tahun 1925 di Singaraja, Perhimpunan Tjatur Wangsa Durga Gama Hindu Bali tahun 1926 di Klungkung, Paruman Para Penandita tahun 1949 di Singaraja, Majelis Hinduisme tahun 1950 di Klungkung, Wiwadha Sastra Sabha tahun 1950 di Denpasar dan pada tanggal 23 Februari 1959 terbentuklah Majelis Agama Hindu. Kemudian pada tanggal 17-23 November tahun 1961 umat Hindu berhasil menyelenggarakan Dharma Asrama para Sulinggih di Campuan Ubud yang menghasilkan piagam Campuan yang merupakan titik awal dan landasan pembinaan umat Hindu.


Dan pada tahun 1964 (7 s.d 10 Oktober 1964), diadakan Mahasabha Hindu Bali dengan menetapkan Majelis keagamaan bernama Parisada Hindu Bali , yang selanjutnya menjadi Parisada Hindu Dharma Indonesia. Berdasarkan uraian tersebut, dapat dijelaskan bahwa kehidupan agama Hindu di Bali sudah berkembang sejak lama dan karateristik Hindu Dharma yang universal sejak awalnya tetap dipertahankan dan diaplikasikan dalam kehidupan nyata yang dikenal di Bali dengan ajaran Tri Hita Karana, yakni hubungan yang harmoni dengan Tuhan Yang Maha Esa, dengan sesama dan dengan bumi serta lingkungannya.















TRADISI MEGIBUNG DI KARANGASEM

Sejumlah budaya dan tradisi unik yang merupakan warisan dari leluhur atau masa lampau, masih berkembang dengan baik menjadi sajian menarik pada era modernisasi kekinian. Salah satu tradisi tersebut adalah acara makan bersama atau yang disebut megibung di Kabupaten Karangasem Bali. Tradisi ini seolah tidak lekang oleh waktu, hampir di setiap orang yang memiliki sebuah hajatan dan melibatkan orang banyak, pada saat menikmati acara bersantap maka tradisi megibung ini akan digelar. Bersantap bersama dengan cara Megibung ini memang sepertinya lebih diminati oleh para warga di Karangasem dibanding mereka menikmati acara bersantap ala prasmanan.
Kabupaten Karangasem adalah kabupaten yang terletak di sisi paling Timur pulau Bali, selain tradisi megibung adalah sejumlah tradisi unik bertahan lestari sampai sekarang ini seperti tradisi Megeret Pandan (Mekare-kare) di Tenganan, Gebug Ende di Seraya dan Ter-teran di Jasri. Karangasem juga memiliki banyak objek wisata menarik, beberapa yang cukup populer adalah Candidasa, Besakih, rafting Telaga Waja, Amed, Tirtagangga, Tulamben, Tenganan, Padangbai dan Taman Ujung. Industri pariwisatanya berkembang dengan cukup baik, sehingga tidak ada salahnya jika anda liburan ke Bali, juga mengagendakan jalan-jalan tour ke kawasan wisata Bali Timur.

Tradisi Megibung – Makan Bersama Di Karangasem

Budaya ataupun tradisi megibung sebenarnya tidak hanya di Karangasem saja, namun ada pada sejumlah tempat lainnya di Bali, bahkan juga beberapa tempat di pulau Lombok. Namun yang memang masih melaksanakan tradisi ini dengan cukup baik adalah Kabupaten Karangasem, dan hampir di semua wilayah kabupaten Karangasem atau Bali Timur  ini masih menggelar acara Megibung dalam sebuah hajatan dalam sebuah upacara adat seperti saat acara pernikahan, potong gigi, otonan dan tiga bulanan anak, melaspas, acara piodalan, bahkan saat upacara Ngaben. Termasuk juga saat-saat acara gotong royong seperti membangun sebuah rumah warga yang melibatkan tetangga dan kerabat, pada saat acara bersantap dengan cara megibung.
Jika anda belum terbiasa dengan cara makan bersama ini tentunya akan merasa kikuk dan banyak hal berkecamuk dalam pemikiran anda. Namun demikian dalam sebuah hajatan, tuan rumah menyiapkan juga makanan prasmanan, sehingga para undangan bisa memilih apakah mau pilih megibung ataupun prasmanan. Dan biasanya pada saat undangan pernikahan dan acara resepsi, para undangan akan disuguhi hidangan prasmanan, sedangkan para kerabat dan warga yang membantu dalam mengolah menyiapkan makanan tersebut lebih menikmatinya dengan cara megibung.
Budaya dan tradisi Megibung ini sejatinya sudah ada sejak lama pada jaman kerajaan Karangasem, dan sampai sekarang masih terjaga lestari. Ada beberapa istilah dalam tradisi megibung, seperti “sele” artinya bagian dari kelompok orang yang bergabung dan duduk bersama untuk menikmati tradisi megibung, mereka biasanya duduk melingkar dengan jumlah peserta sekitar 6 orang, kemudian istilah “gibungan” adalah segepok nasi dengan alas gelaran (dari daun kelapa) dan ditaruh di atas dulang atau nampan, ada istilah “karangan” ini adalah lauk pauk seperti lawar, kekomoh, urab (nyuh-nyuh) putih dan barak, padamare, urutan, marus, balah dan sate, jenis lauk pauk ini bervariasi sesuai kemampuan.
Dalam setiap sele terdiri dari semua laki-laki atau perempuan mereka tidak berbaur, mereka duduk mengelilingi sebuah gibungan dan karangan untuk makan bersama. Disiapkan air untuk cuci tangan, kendi air minum yang sekarang banyak digunakan air minum kemasan. Kemudian dalam sebuah sele ada satu orang yang bertugas untuk menaruh atau menaikkan lauk dalam sebuah gibungan, itupun ada urutannya seperti kekomoh dan urab terlebih dahulu, kemudian lawar, daging dan terakhir adalah balah. Mempertimbangkan tempat atau arena dalam sebuah acara makan bersama megibung ini, bisa sampai pada beberapa periode tergantung undangan yang datang, dalam satu periode bisa terdiri beberapa dan bepuluh-puluh sele.


Acara makan bersama ini memang unik, tidak ada perbedaan duduk dalam kebersamaan, biasanya yang datang dalam satu hajatan berupa undangan adat adalah warga setempat, sehingga dalam satu sele mereka sudah saling kenal, mereka makan bersama sesekali sambil bersenda gurau dan bertukar pikiran, kesannya begitu santai, menambah persahabatan dan lebih mengenal lagi, dan jika gibungan (nasi) yang dimakan bersama habis adalah hal yang wajar untuk ditambah kembali, kalau lauknya (karangan) tidak boleh. Sehingga makan bersama dengan cara megibung memastikan pesertanya akan sangat puas, tidak ada rasa ragu ataupun malu untuk nambah lagi.
Pada saat makan, sebisanya agar tidak berceceran, apalagi berceceran di atas nampan tidak diperbolehkan, sehingga kesannya tidak makan sisa ceceran makanan orang lain. Andaipun makan berceceran itu harus diluar nampan. Walaupun tidak ada aturan tertulis dalam tradisi atau acara megibung, maka peserta megibung juga tidak boleh meludah, berdahak, bersin, berteriak, ketawa keras dan tata krama serta sopan santun lainnya. Walaupun salah satu sudah kenyang, tidak boleh meninggalkan tempat, mulai bersama-sama dan mengakhiri bersama-sama pula.
Apa yang dipaparkan di atas tentang tradisi Megibung di Karangasem, itu adalah gambaran secara umum, tentulah aturan dan tata cara ada yang sedikit berbeda karena perbedaan tempat, kondisi dan waktu pelaksanaan. Jadi prinsip megibung adalah kebersamaan, lalu bagaimana dengan orang-orang yang terkadang dicurigai memiliki ilmu hitam ataupun yang mungkin punya penyakit menular, dalam kasus seperti ini oarang dicurigai memiliki ilmu hitam maka kewajiban tuan rumah yang punya hajatan akan menyiasati hal ini, untuk orang yang punya penyakit menular biasanya mereka mengerti sendiri menyiasati diri dengan cara tidak ikut megibung, tetapi makan sendiri, tetapi mereka tetap sah-sah saja ikut dalam rombongan satu sele, karena inti dan tujuan adalah tidak ada perbedaan, mengutamakan kebersamaan dan kesetaraan.
Untuk melestarikan kegiatan atau tradisi Megibung ini, pada tanggal 26 Desember 2006, bupati Karangasem kala itu yaitu Bapak I Wayan Geredeg, menggelar acara megibung bersama di objek wisata Taman Ujung Karangasem, melibatkan komponen dan lapisan masyarakat serta undangan sampai diikuti oleh 20.520 orang peserta dan tercatat dalam rekor MURI.


















Tata Cara Pawiwahan di Desa Pakraman Batur
            Pawiwahan atau perkawinan adalah salah satu proses terpenting dalam kehidupan manusia, yang dalam bahasa Hindu disebut sebagai Grehastha Brahmacari. Grehastha Brahmacari adalah bagian dari catur asrama yang kedua, dimana memiliki tujuan untuk melanjutkan keturunan, hidup bermasyarakat, serta melakukan yadnya untuk membayar hutang manusia yang berupa Tri Rna. Aturan (tata cara perkawinan menurut Hindu tertuang pada Kitab Manawa Dharmasatra yang merupakan kompodium hukum Hindu. Dalam Manawa Dharmasatra (III.27-III.34), dijelaskan ada delapan jenis perkawinan, yaitu Brahma Wiwaha, Daiwa Wiwaha, Arsa Wiwaha, Prajapati Wiwaha, Asura Wiwaha, Gandharwa Wiwaha, Raksasa Wiwaha dan Paisaca Wiwaha. Dalam perkembangan Agama Hindu, sistem perkawinan ini mengalami perkembangan, sehingga saat ini kita mengenal banyak tata cara perkawinan yang berbeda di masing-masing daerah menurut desa, kala dan patra (khususnya di Bali). Perkembangan ini pada umumnya selaras dengan sistem yang telah ada menurut Weda. Di Bali bahkan hampir tak ada tata cara yang benar-benar sama antar daerah. Salah satunya dapat kita lihat dalam tata cara pawiwahan di Desa Pakraman Batur.
     Secara umum di Desa Batur pelaksanaan sistem pawiwahan dapat digolongkan menjadi empat          macam yaitu:
a. Memadik (ngidih), dilakukan dimana seorang laki-laki (purusa) datang ke rumah perempuan(pradana) untuk meminang. Tata caranya sama seperti tata cara memadik pada         umumnya di Bali.
b.Ngerorod (kawin lari), dimana dilakukan atas dasar suka sama suka antara purusa dan pradana.
c. Nyentana, dilakukan bila terjadi pertukaran, dimana pradana yang meminang purusa. Jenis belum ada yang dilakukan di Batur.
d. Perkawinan pada gelahang, jenis ini merupakan jenis baru di Batur, dimana ditandai dengan pasangan itu memiliki hak dan kewajiban yang sama di kedua orang tuanya. Namun hal ini hanya bisa dilakukan jika pihak purusa dan pradana sama-sama tidak memiliki saudara.
Dari keempat jenis pawiwahan yang ada di Desa Pakraman Batur, semua pelaksanaannya sama, hanya saja ada beberapa yang mengalami penambahan pelaksanaan, misalnya jika menikah dengan orang dari luar desa ada istilah upacara metipat bantalan, dan mengikuti pelaksanaan upacara di desa bersangkutan menurut adat desa tersebut.
Pada perkawinan ngerorod, saat purusa membawa pradana, pasangan itu harus bersembunyi di rumah kerabat untuk beberapa saat. Sementara itu dari pihak purusa mengirim utusan ke pihak pradana sejumlah dua orang yang tidak memiliki hubungan kekeluargaan dengan mempelai, dinamakan pengandeg ngangken. Tugas utusan ini untuk menyampaikan bahwa anaknya telah menikah, dengan menunjukan surat keterangan kawin yang diketahui oleh kelian dinas banjar dari purusa. Ngandeg ngangken memiliki arti:
-Ngandeg, berarti menghambat
-Ngangken, berarti menyampaikan
     Setelah dinyatakan aman (tidak ada masalah dari pihak perempuan), dikirim lagi dua utusan yang tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan kedua mempelai, untuk melaksanakan piuning ke Pura Ulun Danu Batur. Setelah itu mempelai baru bisa menuju ke rumah purusa untuk melakukan upacara pembersihan (pebiakaonan), dan tidak diperkenankan keluar pekarangan selama 3 hari, jika melanggar akan dikenai denda. Dua hari setelah upacara biakaonan, dilakukan upacara melepeh, yaitu beberapa orang dari pihak purusa ke pihak pradana untuk meminta maaf atas kesalahan dari pihak laki-laki karena telah melakukan kawin lari, dan agar direstui. Selain itu juga menyatakan besoknya akan dilaksanakan proses medharmasuaka. Setelah proses ini, proses mengikuti proses seperti biasa.
     



Tata cara pelaksanaan pawiwahan secara umum meliputi tahap-tahap seperti berikut:

1.Mesedek, dilakukan oleh pihak laki-laki ke pihak perempuan, untuk menyatakan pelaksanaan medharmasuaka/ngidih. (pada proses nyentana terbalik, yaitu pihak perempuan yang datang ke pihak laki).

2. Medharmasuaka (mapengidihan), dilakukan proses secara resmi meminang perempuan oleh laki-laki, dihadiri oleh tokoh adat (bendesa), kelian banjar dinas kedua mempelai, orang tua dan sanak saudara. Pada saat selain pernyataan menikah secara resmi juga dilakukan musyawarah untuk memilih duasa (hari baik) untuk melakukan upacara mepragat (pada pawiwahan ngerorod, dilakukan setelah proses melepeh dan dilakukan juga kesepakatan status dari tidak boleh keluar menjadi boleh keluar pekarangan atau bebas ngenah). Proses ini menggunakan sarana banten pengraos dan pejati.

3. Mepragat (dilakukan pada hari yang telah ditentukan saat medharmasuaka), dilakukan proses mepejati di pura, yaitu di palinggihan I Ratu Gde Makolem.

       Prosesnya meliputi:
a. Tiga hari sebelum upacara mepragat dilakukan piuning (pemberitahuan) kepura yang ditujukan ke Jro Mekel (tiga Desa Dinas Batur), kesinoman dan Jro Gde Batur mekalihan, dengan sarana bakti pengendek.
b.      Pada pagi hari pelaksanaan  pihak purusa dilakukan upacara:
 - Pagi harinya menghaturkan peratengan yang ditujukan kepada Jro Gde Batur makalihan, Jro Mekel (ketiga Desa Dinas Batur), dan ke kesinoman. Serta meghaturkan tapakan, dilengkapi nasi gibungan ke orang yang mencarikan duwasa (hari baik) dan menghaturkan nasi gibungan ke pihak pradana.
-Melakukan upacara mamitang pradana dari sanggah pradana, secara niskala, mempergunakan tapakan pejati.
- Melakukan upacara nyambut ulapin (biasanya dibuat sanggah lumbung yang ditopang oleh 4 batang pohon dapdap, akan ditunas setelah 42 hari upacara), yang merupakan upacara menyambut pradana ke purusa secara niskala. Selain itu, juga berfungsi sebagai penyucian kedua mempelai. Sarana yang digunakan adalah ayam (ayam penyeladii) sebagai simbol menyerap pikiran yang kotor. Banten yang digunakan adalah tapakan pejati, yang dilengkapi canang tegeh.
c.Melakukan proses mepelaku, yaitu proses meminta izin ke keluarga pradana. Pihak purusa akan diterima di bale penyanggra. Proses ini sudah jarang dilakukan secara formal dalam pelaksanaan pawiwahan di Batur.
d. Dilakukan upacara di sanggah pradana, sebagai bentuk piuning, dengan banten tapakan pejati dan canang tegeh(sebagai pelengkap)
e. Melakukan upacara di pura-pura yang disungsung oleh mempelai. Mempergunakan tapakan pejati dan banten lain sesuai aturan di masing-masing pura.
f. Melakukan upacara di Pura Ulun Danu Batur, dihadapan Ida Ratu Gde Makolem. Dalam proses ini sebelum persembahyangan dilakukan pembunyian kul-kul duwe sebanyak 16 kemplungan oleh Kesinoman Bedanginan, dan pembayaran (netes) klaci yang dipungut oleh Kesinoman Bedawanan, klaci yang dibayarkan seharga 2400 kepeng uang kepeng yang bisa diuangkan. Sarana yang dipakai diproses ini adalah tapakan pejati, canang tegeh (pelengkap), yang dibedakan dengan mempergunakan tumpeng (lambang purusa) dan mempergunakan pangkonan(lambang pradana).


g. Melakukan upacara piuning di stana I Ratu Gde Karang Buncing, yang dipuput oleh Jro Mekel atau bisa diwakili oleh Kesinoman Bedanginan. Sarana yang digunakan adalah tapakan pejati, pangejeroan, canang japit tunggal (dibuat oleh orang yang sudah menopause di malam hari), sesantun, canang kampuh, dan canang matur sisip. Tujuan dari pelaksanaan ini adalah untuk minta restu meminta karang dari leluhur. Palinggih I Ratu Gde Karang Buncing seharusnya berada di rumah (merajan) Jro Mekel, namun akibat adanya tiga perbekel dan tidak bersifat tetap, sehingga dilaksanakan di pura.
h.Melakukan upacara piuning di stana Ida Ratu Pujangga Luwih (Pura Jati), yang bisa dilakukan setelah proses upacara atau bisa dilakukan 3 hari setelah pelaksanaan upacara (diistilahkan dengan nutugang). Mempergunakan banten tebasan dan tapakan pejati
4.Melaksanaan upacara, di bale pesarean setelah datang dari pura untuk melakukan penyucian tempat tidur.
5. Melakukan upacara nguyahin pada malam harinya dari pihak purusa ke pradana. Di acara ini pihak istri akan memperkenalkan sanak keluarga kepada suami dan keluarga purusa. Acara ini mirip dengan upacara sungkem di tradisi pernikahan adat Jawa. Biasanya pihak pradana akan melakukan kunjungan serupa pada hari berikutnya ke keluarga pradana.
Setelah proses pawiwahan selesai, mempelai diwajibkan untuk sesegera mungkin ngayah di adat, yang bias dimulai pada Galungan terdekat. Bila tidak ngayah, masyarakat itu akan dikenakan sanksi adat. Tempek (organisasi adat) yang pertama dimasuki adalah tempek jro batu, dimana jika masyarakat merupakan masyarkat Batur bedanginan masuk ke jro batu dangin rurung, dan jika masyarakat Batur bedawanan akan masuk ke tempek jro batu dauh rurung. Mengingat masyarakat Batur tidak mengenal istilah kasta, namun masyarakat dibagi menjadi dua bagian yaitu bedanginan dan bedawanan. Setelah itu, bisa pindah tempek setelah melewati aling sedikit satu kali Galungan.
Dalam pewiwahan di Batur bilamana ada seorang wanita yang menikah ke luar Batur, akan dikenakan sanksi berupa denda yaitu peklacian ditambah setengah dan melaksanakan bakti pakandal.
Selain itu, masyarakat Batur dilarang melakukan perkawinan jika:
1.      Memisan (masih bersepupu) tidak diperkenankan menurut Raja Purana Pura Ulun Danu Batur.
2.      Mengawini perempuan yang masih memiliki hubungan rerama (bibi), serta perempuan yang masih memiliki silsilah lebih tinggi daripada laki-lakinya.
3.      Melakukan poligami bersaudara.
4.      Siku pala, yaitu melakukan perkawinan yang menyilang, dimana jika seorang adik atau kakak yang menikahi kakak atau adik suami atau isterinya.
5.      Melakukan perkawinan dengan orang dari desa lain, misalnya batun sendi Ida Batari, seperti dengan masyarakat Desa Bayung Gede.









Tradisi Ngusaba Bukakak
Upacara Bukakak, salah satu budaya dan tradisi unik yang hanya ada di Bali Utara, tepatnya di desa Adat Sangsit, Kecamatan Sawan, Buleleng. Begitu banyaknya  budaya warisa leluhur yang masih terjaga dengan baik di Bali. Tujuan dari Upacara Bukakak ini untuk melakukan permohonan kepada Sanghyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Dewi Kesuburan agar diberikan kesuburan kepada tanah-tanah pertanian mereka supaya hasil panennya berlimpah ruah. Tradisi ini hanya dilakukan di daerah Singaraja, jika kebetulan anda sedang wisata di Bali dan melakukan perjalanan tour ke daerah Bali Utara seperti Lovina anda bisa menyaksikan prosesi upacara ini pada bulan April kalender Jawa atau bulan punama sasih kedasa menurut kalender Bali.
Pengertian bukakak adalah babi guling yang dibikin matang hanya bagian dada saja, upacara ini sudah dilakukan sejak zaman dahulu dan masih terperihara hinggga sekarang, pada mulanya upacara ini  dilakukan 1 tahun sekali, namun karena terkendala biaya, akhirnya upacara ini dilakukan setiap 2 tahun sekali.Prosesi ini mengarak bukakak dengan segala perlengkapan upacaranya diiringi dengan gamelan Tik Nong, yang diyakini tempat berstana dewi kesuburan, perjalanan arak-arakan ini lumayan jauh,  mengelilingi persawahan, dan kemudian menuju sebuah Pura desa tempat berstana Dewi Sri/ dewi kesuburan. Pengusung bukakak sendiri dibagi menjadi 2 kelompok, untuk pengusung bukakak harus sudah dewasa/ menikah dan pengusung sarat alit para remaja.
Keanehan muncul saat upacara bukakak berlangsung, setelah diperciki air suci para pengusung bukakak seperti dirasuki kekuatan yang melebihi kekuatan manusia normal, para pengusung buakakak ini mengaum, sepertinya kemasukan roh dan tidak lazim.
Persiapan yang dilakukan dalam upacara Ngusaba Bukakak ini,
·        Pembersihan upacara perlengkapan
·        Membuat Dangsil bersegi empat, dari pohon pinang, dengan rangkaian bambu dihiasi dengan daun enau tua dirangkai dengan bambu, dihiasi daun enau tua, dibuat bertingkat yang melambangkan Tri Murti (Dewa Brahma, Wisnu dan Siwa)
·        Mengadakan upacara Ngusaba di pura yang terdapat di desa setempat
·        Upacara Gedenin di pura Subak.










Tradisi Budaya Bali

Tradisi Mageret Pandan
Tradisi sakral Bali Aga ini menggunakan pandan berduri dan sangat tajam ini adalah unik dan menurut ramagita, Tradisi Mageret pandan atau Perang Pandan (Mekare-kare) dilakukan selama tiga hari dan juga tradisi ini merupakan sarana latihan ketangkasan seorang prajurit dalam masyarakat Tenganan  sebagai penganut Agama Hindu aliran Dewa Indra sebagai Dewa Perang.Yang terpenting dalam perang pandan tersebut tidak ada menang kalah. Kalau ada yang sampai terluka akibat goresan pandan akan diobati dengan obat yang telah disediakan yang berasal dari cuka kunir dan isen. Tak heran jika Perang pandan ini menjadi tontonan menarik bagi wisatawan lokal dan mancanegara.
Kepercayaan warga Tenganan agak berbeda dengan warga Bali pada umumnya dimana Umat Hindu Bali yang menjadikan Tri Murti sebagai dewa tertinggi. Namun bagi warga Tenganan, Dewa Indra sebagai dewa perang adalah dewa dari segala dewa.
Tradisi Mekepung
Sejarah Tradisi / Atraksi Mekepung di Jembrana Bali dikembangkan pertama kali sekitar tahun 1930 dengan joki berpakaian seperti prajurit istana. Mereka bertelanjang kaki, mengenakan gaun kepala, syal, rompi, dan celana panjang dengan pedang yang dibungkus kain bermotif kotak-kotak di pinggang. Karena pakaian joki yang dikenakan selalu kotor setelah mekepung di sawah berlumpur, maka mereka pindah ke jalan tanah dekat sawah.
Mekepung juga berarti kejar-kejaran, inspirasi berasal dari kegiatan petani pengolahan sawah mereka sebelum mereka menanam benih padi yang bajak lahan basah ke dalam lumpur dengan menggunakan bajak tradisional.
Bajak ditarik oleh dua ekor kerbau, kerbau mengenakan alat dekoratif seperti lonceng kayu, sehingga ketika kerbau berjalan menarik bajak akan terdengar suara seperti musik.

Tradisi Omed-Omedan
Merupakan tradisi / festival ciuman massal usai Hari Raya Nyepi di Bali yang dilaksanakan setiap tahun sekali sebagai warisan leluhur yang dilestarikan sampai saat ini.
tradisi yang unik yaitu Festival Omed – ciuman antara laki dan perempuan satu desa yang tepatnya dilaksanakan di Banjar Kaja Desa Sesetan Denpasar Bali.
Setiap tahun, setidaknya 50 orang muda yang telah dewasa yang berpartisipasi dalam festival turun temurun ini ini.
Festival dimulai dengan doa di Banjar dan semua peserta harus mengikuti prosesi menjadi lancar dan keselamatan saat berciuman kemudian.Pada saat  berdoa orang-orang muda dibagi menjadi dua kelompok. Yang pertama kelompok laki laki, dan yang lainnya adalah kelompok perempuan.
Dalam sejarahnya, Tradisi Omed-omedan dimulai pada abad ke-17. Sebelumnya tradisi ini dilakukan pada hari Nyepi, namun pada tahun 1978 diputuskan untuk menggantinya pada saat Ngembak Geni, atau sehari setelah Nyepi. “Tradisi ini hanya untuk meluapkan  kegembiraan teruna Teruni pada saat hari omed omedan Ngembak-geni,” kata I Gusti Ngurah Oka Putra, Toko Banjardi daerah Sesetan.
Tradisi Perang Siat Sampian
Tradisi yang dilaksanakan setiap tahun sekali di Pura Samuan Tiga ini juga menarik perhatiann wisatawan asing, demikian dikutip dari artikel perang sampian di Pura Samuan Tiga. Juga dalam kutipan artikel tersebut dijelaskan pula bahwa, sebelum tradisi ini dimulai, dilakukan upacara Nampiog, Ngober dan Meguak-guakan. Dalam upacara ini, ratusan warga mengelilingi areal pura sambil menggerak-gerakkan tangan mereka seperti burung gagak (goak).

Prosesi ini diikuti oleh para permas atau ibu-ibu yang sudah disucikan. Selain ibu-ibu, para pemangku pura setempat juga ikut mengelingi areal Pura. Setelah prosesi ini selesai dilanjutkan dengan upacara Ngombak. Pada upacara ini para wanita yang berjumlah 46 orang, serta laki-laki atau sameton parekan yang juga sudah disucikan berjumlah 309 orang melakukan upacara Ngombak (melakukann gerakan seperti ombak).

Upacara ini dilakukan dengan cara berpegangan tangan satu sama lainnya, kemudian bergerak laksana ombak. Setelah usai upacara ini, para laki dan wanita tersebut langsung mengambil sampian (rangkaian janur untuk sesajen) dan saling pukul serta lempar atau perang dengan sampian satu sama lainnya.












0 komentar:

Post a Comment