Awal Perkembangan Agama Hindu di Bali
Masuknya agama Hindu di Bali diperkirakan sebelum abad ke-8
Masehi, karena pada abad ke-8 telah dijumpai fragmen-fragmen prasasti yang
didapatkan di Pejeng berbahasa Sanskerta. Ditinjau dari segi bentuk hurufnya
diduga sejaman dengan meterai tanah liat yang memuat mantra Buddha yang dikenal
dengan “Ye te mantra”, yang diperkirakan berasal dari tahun 778 Masehi. Pada
baris pertama dari dalam prasasti itu menyebutkan kata“Sivas.......ddh.......” yang
oleh para ahli, terutama Dr. R. Goris menduga kata yang sudah haus itu
kemungkinan ketika utuh berbunyi: “Siva Siddhanta”. Dengan demikian pada abad
ke-8 , Paksa (Sampradaya atau Sekta) Siva Siddhanta telah berkembang di Bali.
Sampai ditulisnya sebuah prasasti tentunya menunjukkan agama itu telah
berkembang secara meluas dan mendalam diyakini oleh raja dan rakyat saat itu.
Meluas dan mendalamnya ajaran agama dianut oleh raja dan rakyat tentunya
melalui proses yang cukup panjang, oleh karena itu agama Hindu (sekta Siva
Siddhanta) sudah masuk secara perlahan-lahan sebelum abad ke-8 Masehi.Bukti
lain yang merupakan awal penyebaran agama Hindu di Bali adalah ditemukannya
arca Siva di pura Putra Bhatara Desa di desa Bedaulu, Gianyar. Arca tersebut
merupakan satu tipe (style) dengan arca-arca Siva dari candi Dieng yang berasal
dari abad ke-8 yang menurut Stutterheim tergolong berasal dari periode seni
arca Hindu Bali.
Dalam prasasti Sukawana, Bangli yang memuat angka 882
Masehi, menyebutkan adanya tiga tokoh agama yaitu Bhiksu Sivaprajna, Bhiksu
Siwa Nirmala dan Bhiksu Sivakangsita membangun pertapaan di Cintamani,
menunjukkan kemungkinan telah terjadi sinkretisme antara Siva dan Buddha di
Bali dan bila kita melihat akar perkembangannya kedua agama tersebut
sesungguhnya berasal dari pohon yang sama, yakni agama Hindu. Berkembangnya dan
terjadinya sinkretisme antara Sivaisme dan Buddhisme di Bali sebenarnya diduga
lebih menampakkan diri pada masa pemerintahan raja besar Dharma Udayana
Varmadeva, karena kedua agama tersebut menjadi agama negara.
Bersamaan dengan datangnya agama Hindu ke Bali, pada abad
ke-8 juga dijumpai peninggalan-peninggalan yang menunjukkan masuknya agama
Buddha Mahayana. Bukti masuknya agama Buddha Mahayana di Bali dapat diketahui
dari stupika-stupika tanah liat yang tersebar di daerah Pejeng Selatan, Titiapi
dan Blahbatuh, Gianyar. Seluruh stupika di pura Penataran Sasih, Pejeng dapat
diselamatakan dan dipindahkan ke Museum Bali. Sekitar abad ke-13 Masehi, di
Bali berkembang pula sekta Bhairava dengan peninggalan berupa arca-arca
Bhairava di pura Kebo Edan Pejeng. Sekta ini mungkin berkembang sebagai akibat
adanya hubungan politis dengan kerajaan Singhasari (Singosari) di jawa Timur
pada masa pemerintahan raja Kertanegara. Berdasarkan data sejarah tersebut,
ternyata perkembangan awal kedatangan agama Hindu (Sivaisme) dan Buddha
(Mahayana) hampir pada saat yang bersamaman dan bahkan akhirnya agama Buddha
Mahayana ini luluh ke dalam agama Hindu seperti diwarisi di Bali saat ini.
Pada masa Bali Kuno merupakan masa tumbuh dan berkembangnya
agama Hindu yang mencapai kejayaan pada abad ke-10 dengan ditandai oleh
berkuasanya raja suami istri Dharma Udayana Varmadeva dan Gunapriyadharmapatni.
Pada masa pemerintahan raja ini terjadi proses Jawanisasi di Bali, yakni
prasasti-prasasti berbahasa Bali Kuno digantikan dengan bahasa Jawa Kuno dan
susastra Hindu berbahasa Jawa Kuno dibawa dari Jawa dan dikembangkan di Bali.
Saat itu di Bali berkembang ajaran Hindu yang disebut sekta. Sekta-sekta yang
berkembang di Bali, yang menurut penelitian Dr. R.Goris (1926) dalam (http://kodoknyitnyit.blogspot.com )
jumlahnya 9 sekta, yang terdiri dari : Siva Siddhanta, Pasupata, Bhairava,
Vaisnava, Bodha (Soghata), Brahmana, Rsi, Sora (Surya) dan Ganapatya. Sedangkan
dalam beberapa lontar di Bali disebutkannya 6 sekta (disebut Sad Agama), yang
terdiri dari Sambhu, Brahma, Indra, Bayu, Visnu dan Kala. Di antara seluruh
sekta tersebut, rupanya yang sangat dominan dan mewarnai kehidupan agama Hindu
di Bali adalah Siva Siddhanta dengan peninggalan beberapa buah lontar (teks)
antara lain: Bhuvanakosa, Vrhaspatitattva, Tattvajnana, Sang Hyang Mahajnana,
Catur Yuga, Vidhisastra dan lain-lain. Mudra dan Kutamantra yang dilaksanakan
oleh para pandita Hindu di Bali dalam aktivitas ritual pelaksanaan
Pujaparikrama bersumber pada ajaran Siva Siddhanta.
Masa Bali Kuno ini berakhir dengan pemerintahan raja
Astasura-ratnabhumibanten yang ditundukkan oleh ekspedisi Majapahit dibawah
pimpinan mahapatih Gajah Mada. Pada masa Bali Kuno ini (antara abad ke-10
sampai dengan ke-14) pertumbuhan agama Hindu demikian pesat. Pada masa
pemerintahan raja Dharma Udayana, seorang pandita Hindu bernama Mpu Rajakerta
menjabat Senapati I Kuturan (semacam perdana mentri) yang menata kehidupan
keagamaan dengan baik dan terwarisi hingga kini.
Tokoh-Tokoh Penyebaran Agama Hindu di Bali
Dalam
perkembangan Agama Hindu di bali terdapat enam tokoh suci yang sangat
berpeerran penting. Keenam tokoh suci itu antara lain:
1.
DANGHYANG
MARKANDEYA
Pada abad ke-8 beliau mendapat pencerahan di Gunung Di Hyang
(sekarang Dieng, Jawa Timur) bahwa bangunan palinggih di Tolangkir (sekarang
Besakih) harus ditanami panca datu yang terdiri dari unsur-unsur emas, perak,
tembaga, besi, dan permata mirah. Setelah menetap di Taro, Tegal lalang -
Gianyar, beliau memantapkan ajaran Siwa Sidhanta kepada para pengikutnya dalam
bentuk ritual: Surya sewana, Bebali (Banten), dan Pecaruan. Karena semua ritual
menggunakan banten atau bebali maka ketika itu agama ini dinamakan Agama Bali.
Daerah tempat tinggal beliau dinamakan Bali.
Jadi yang bernama Bali mula-mula hanya daerah Taro saja,
namun kemudian pulau ini dinamakan Bali karena penduduk di seluruh pulau
melaksanakan ajaran Siwa Sidanta menurut petunjuk-petunjuk Danghyang Markandeya
yang menggunakan bebali atau banten. Selain Besakih, beliau juga membangun
pura-pura Sad Kahyangan lainnya yaitu : Batur, Sukawana, Batukaru, Andakasa,
dan Lempuyang. Beliau juga mendapat pencerahan ketika Hyang Widhi berwujud
sebagai sinar terang gemerlap yang menyerupai sinar matahari dan bulan.
Oleh karena itu beliau menetapkan bahwa warna merah sebagai
simbol matahari dan warna putih sebagai simbol bulan digunakan dalam hiasan di
Pura antara lain berupa ider-ider, lelontek, dll. Selain itu beliau mengenalkan
hari Tumpek Kandang untuk mohon keselamatan pada Hyang Widhi, digelari Rare
Angon yang menciptakan darah, dan hari Tumpek Pengatag untuk menghormati Hyang
Widhi, digelari Sanghyang Tumuwuh yang menciptakan getah.
2.
MPU SANGKULPUTIH
Setelah Danghyang Markandeya moksah, Mpu Sangkulputih
meneruskan dan melengkapi ritual bebali antara lain dengan membuat variasi dan
dekorasi yang menarik untuk berbagai jenis banten dengan menambahkan
unsur-unsur tetumbuhan lainnya seperti daun sirih, daun pisang, daun janur,
buah-buahan: pisang, kelapa, dan biji-bijian: beras, injin, kacang komak.
Bentuk banten yang diciptakan antara lain canang sari, canang tubugan, canang
raka, daksina, peras, panyeneng, tehenan, segehan, lis, nasi panca warna,
prayascita, durmenggala, pungu-pungu, beakala, ulap ngambe, dll. Banten dibuat
menarik dan indah untuk menggugah rasa bhakti kepada Hyang Widhi agar timbul
getaran-getaran spiritual. Di samping itu beliau mendidik para pengikutnya
menjadi sulinggih dengan gelar Dukuh, Prawayah, dan Kabayan. Beliau juga
pelopor pembuatan arca/pralingga dan patung-patung Dewa yang dibuat dari bahan
batu, kayu, atau logam sebagai alat konsentrasi dalam pemujaan Hyang Widhi tidak kurang
pentingnya, beliau mengenalkan tata cara pelaksanan peringatan hari Piodalan di
Pura Besakih dan pura-pura lainnya, ritual hari-hari raya : Galungan, Kuningan,
Pagerwesi, Nyepi, dll. Jabatan resmi beliau adalah Sulinggih yang bertanggung
jawab di Pura Besakih dan pura-pura lainnya yang telah didirikan oleh Danghyang
Markandeya.
3.
MPU KUTURAN
Pada abad ke-11 datanglah ke Bali seorang Brahmana dari
Majapahit yang berperan sangat besar pada kemajuan Agama Hindu di Bali. Seperti
disebutkan oleb R. Goris pada masa Bali Kuna berkembang suatu kehidupan
keagamaan yang bersifat sektarian. Ada sembilan sekte yang pernah berkembang
pada masa Bali Kuna antara lain sekte Pasupata, Bhairawa, Siwa Shidanta,
Waisnawa, Bodha, Brahma, Resi, Sora dan Ganapatya.
Diantara sekte-sekte tersebut Çiwa Sidhanta merupakan sekte
yang sangat dominan (Ardhana 1989:56). Masing-masing sekte memuja Dewa-Dewa
tertentu sebagai istadewatanya atau sebagai Dewa Utamanya dengan Nyasa (simbol)
tertentu serta berkeyakinan bahwa istadewatalah yang paling utama sedangkan
yang lainnya dianggap lebih rendah.Perbedaan-perbedaan itu akhirnya menimbulkan
pertentangan antara satu sekte dengan sekte yang lainnya yang menyebabkan
timbulnya ketegangan dan sengketa didalam tubuh masyarakat Bali Aga.
Inilah yang merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya
gangguan keamanan dan ketertiban di masyarakat yang membawa dampak negative
pada hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat. Akibat yang bersifat negative
ini bukan saja menimpa desa bersangkutan, tetapi meluas sampai pada
pemerintahan kerajaan sehingga roda pemerintahan menjadi kurang lancar dan
terganggu.
Dalam kondisi seperti itu, Raja Gunaprya Dharmapatni/Udayana
Warmadewa perlu mendatangkan rohaniawan dari Jawa Timur yang oleh Gunaprya
Dharmapatni sudah dikenal sejak dahulu semasih beliau ada di Jawa Timur. Oleh
karena itu Raja Gunaprya Dharmapatni/Udayana Warmadewa bersekepatan untuk
mendatangkan 4 orang Brahmana bersaudara yaitu:
a.
Mpu Semeru, dari sekte Ciwa tiba di
Bali pada hari jumat Kliwon, wuku Pujut, bertepatan dengan hari Purnamaning
Kawolu, candra sengkala jadma siratmaya muka yaitu tahun caka 921 (999M) lalu
berparhyangan di Besakih.
b.
Mpu Ghana, penganut aliran
Gnanapatya tiba di Bali pada hari Senin Kliwon, wuku Kuningan tanggal 7 tahun
caka 922 (1000M), lalu berparhyangan di Gelgel.
c.
Mpu Kuturan, pemeluk agama Budha
dari aliran Mahayana tiba di Bali pada hari Rabu Kliwon wuku pahang, maduraksa
(tanggal ping 6), candra sengkala agni suku babahan atau tahun caka 923
(1001M), selanjutnya berparhyangan di Cilayukti (Padang)
d.
Mpu Gnijaya, pemeluk Brahmaisme tiba di Bali
pada hari Kamis Umanis, wuku Dungulan, bertepatan sasih kadasa, prati padha
cukla (tanggal 1), candra sengkala mukaa dikwitangcu (tahun caka 928 atau
1006M) lalu berparhyangan di bukit Bisbis (Lempuyang).
Sebenarnya keempat orang Brahmana ini di Jawa Timur
bersaudara 5 orang yaitu adiknya yang bungsu bernama Mpu Bharadah ditinggalkan
di Jawa Timur dengan berparhyangan di Lemahtulis, Pajarakan. Kelima orang
Brahmana ini lazim disebut Panca Pandita atau “Panca Tirtha” karena beliau
telah melaksanakan upacara “wijati” yaitu menjalankan dharma “Kabrahmanan”.
Dalan suatu rapat majelis yang diadakan di Bata Anyar yang dihadiri oleh unsur
tiga kekuatan pada saat itu, yaitu :
1.
Dari pihak Budha Mahayana diwakili
oleh Mpu Kuturan yang juga sebagai ketua siding
2.
Dari pihak Ciwa diwakili oleh Mpu
Semeru
3.
Dari pihak 6 sekte yang pemukanya
adalah orang Bali Aga
Dalam rapat majelis tersebut Mpu Kuturan membahas bagaimana
menyederhanakan keagamaan di Bali, yg terdiri dari berbagai
aliran. Tatkala itu semua hadirin setuju untuk menegakkan paham Tri Murti
(Brahma,Wisnu,Ciwa) untuk menjadi inti keagamaan di Bali dan yang layak
dianggap sebagai perwujudan atau manifestasi dari Sang Hyang Widhi
Wasa.Konsesus yang tercapai pada waktu itu menjadi keputusan pemerintah
kerajaan, dimana ditetapkan bahwa semua aliran di Bali ditampung dalam satu
wadah yang disebut “Ciwa Budha” sebagai persenyawaan Ciwa dan Budha.
Semenjak itu penganut Ciwa Budha harus mendirikan tiga buah
bangunan suci (pura) untuk memuja Sang Hyang Widhi Wasa dalam perwujudannya
yang masing-masing bernama:
1.
Pura Desa Bale Agung untuk memuja
kemuliaan Brahma sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan)
2.
Pura Puseh untuk memuja kemulian
Wisnu sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa
3.
Pura Dalem untuk memuja kemuliaan
Bhatari Durga yaitu caktinya Bhatara Ciwa sebagai perwujudan dari Sang Hyang
Widhi Wasa
Ketiga pura tersebut disebut Pura “Kahyangan Tiga” yang
menjadi lambang persatuan umat Ciwa Budha di Bali. Sekaligus dengan
dikristalisasinya seluruh sekta tersebut dalam pemujaan kepada Tri Murti
menjadi landasan dalam pembangunan Desa Krama (Pakraman) atau desa Adat di Bali.
Sejak saat itu berbagai perubahan diciptakan oleh Mpu Kuturan, baik dalam
bidang politik, social, dan spiritual. Jika sebelum keempat Brahmana tersebut semua
prasasti ditulis dengan menggunakan huruf Bali Kuna, maka sesudah itu mulai
ditulis dengan bahasa Jawa Kuna (Kawi).
Akhirnya di bekas tempat rapat itu dibangun sebuah pura yang
diberi nama Pura Samuan Tiga.Atas wahyu Hyang Widhi beliau mempunyai pemikiran-pemikiran
cemerlang mengajak umat Hindu di Bali mengembangkan konsep Trimurti dalam wujud
simbol palinggih Kemulan Rong Tiga di tiap perumahan, Pura Kahyangan Tiga di
tiap Desa Adat, dan Pembangunan Pura-pura Kiduling Kreteg (Brahma), Batumadeg
(Wisnu), dan Gelap (Siwa), serta Padma Tiga, di Besakih. Paham Trimurti adalah
pemujaan manifestasi Hyang Widhi dalam posisi horizontal (pangider-ider).
4.
MPU MANIK
ANGKERAN
Setelah Mpu Sangkulputih moksah, tugas-tugas beliau diganti
oleh Mpu Manik Angkeran. Beliau adalah Brahmana dari Majapahit putra Danghyang
Siddimantra. Dengan maksud agar putranya ini tidak kembali ke Jawa dan untuk
melindungi Bali dari pengaruh luar, maka tanah genting yang menghubungkan Jawa
dan Bali diputus dengan memakai kekuatan bathin Danghyang Siddimantra. Tanah
genting yang putus itu disebut segara rupek.
5.
MPU JIWAYA
Beliau menyebarkan Agama Budha Mahayana aliran Tantri
terutama kepada kaum bangsawan di zaman Dinasti Warmadewa (abad ke-9).
Sisa-sisa ajaran itu kini dijumpai dalam bentuk kepercayaan kekuatan mistik
yang berkaitan dengan keangkeran (tenget) dan pemasupati untuk kesaktian
senjata-senjata alat perang, topeng, barong, dll.
6.
DANGHYANG
DWIJENDRA
Datang di Bali pada abad ke-14 ketika Kerajaan Bali Dwipa
dipimpin oleh Dalem Waturenggong. Atas wahyu Hyang Widhi di Purancak, Jembrana,
Beliau mempunyai pemikiran-pemikiran cemerlang bahwa di Bali perlu dikembangkan
paham Tripurusa yakni pemujaan Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai Siwa,
Sadha Siwa, dan Parama Siwa. Bentuk bangunan pemujaannya adalah Padmasari atau
Padmasana. Jika konsep Trimurti dari Mpu Kuturan adalah pemujaan Hyang Widhi
dalam kedudukan horizontal, maka konsep Tripurusa adalah pemujaan Hyang Widhi
dalam kedudukan vertikal. Ketika itu Bali Dwipa mencapai jaman keemasan, karena
semua bidang kehidupan rakyat ditata dengan baik. Hak dan kewajiban para
bangsawan diatur, hukum dan peradilan adat/agama ditegakkan, prasasti-prasasti
yang memuat silsilah leluhur tiap-tiap soroh/klan disusun. Awig-awig Desa Adat
pekraman dibuat, organisasi subak ditumbuh-kembangkan dan kegiatan keagamaan
ditingkatkan. Selain itu beliau juga mendorong penciptaan karya-karya sastra
yang bermutu tinggi dalam bentuk tulisan lontar, kidung atau kekawin.
Karya sastra beliau yang terkenal antara lain : Sebun
bangkung, Sara kusuma, Legarang, Mahisa langit, Dharma pitutur, Wilet Demung
Sawit, Gagutuk menur, Brati Sesana, Siwa Sesana, Aji Pangukiran, dll. Beliau
juga aktif mengunjungi rakyat di berbagai pedesaan untuk memberikan Dharma wacana.
Saksi sejarah kegiatan ini adalah didirikannya Pura-Pura untuk memuja beliau di
tempat mana beliau pernah bermukim membimbing umat misalnya : Pura
Purancak, Pura Rambut Siwi, Pura Pakendungan, Pura Hulu Watu, Pura Bukit
Gong, Pura Bukit Payung,Pura Sakenan, Pura Air Jeruk, Pura Tugu, Pura
Tengkulak, Pura Gowa Lawah, Pura Ponjok Batu, Pura Suranadi (Lombok), Pura
Pangajengan, Pura Masceti, Pura Peti Tenget, PuraAmertasari, Pura
Melanting, Pura Pulaki, Pura Bukcabe, Pura Dalem Gandamayu, Pura Pucak Tedung,
dll.
Ke-enam tokoh suci tersebut telah memberi ciri yang khas
pada kehidupan beragama Hindu di Bali sehingga terwujudlah tattwa dan ritual
yang khusus yang membedakan Hindu-Bali dengan Hindu di luar Bali.
Perkembangan
Agama Hindu Setelah Runtuhnya Kerajaan-Kerajaan Di Bali Sampai Sekarang
Perkembangan selanjutnya, setelah runtuhnya
kerajaan-kerajaan di Bali pembinaan kehidupan keagamaan sempat mengalami
kemunduran. Namun mulai tahun 1921 usaha pembinaan muncul dengan adanya Suita
Gama Tirtha di Singaraja, Sara Poestaka tahun 1923 di Ubud Gianyar, Surya kanta
tahun 1925 di Singaraja, Perhimpunan Tjatur Wangsa Durga Gama Hindu Bali tahun
1926 di Klungkung, Paruman Para Penandita tahun 1949 di Singaraja, Majelis
Hinduisme tahun 1950 di Klungkung, Wiwadha Sastra Sabha tahun 1950 di Denpasar
dan pada tanggal 23 Februari 1959 terbentuklah Majelis Agama Hindu. Kemudian
pada tanggal 17-23 November tahun 1961 umat Hindu berhasil menyelenggarakan
Dharma Asrama para Sulinggih di Campuan Ubud yang menghasilkan piagam Campuan
yang merupakan titik awal dan landasan pembinaan umat Hindu.
Dan pada tahun 1964 (7 s.d 10 Oktober 1964), diadakan
Mahasabha Hindu Bali dengan menetapkan Majelis keagamaan bernama Parisada Hindu
Bali , yang selanjutnya menjadi Parisada Hindu Dharma Indonesia. Berdasarkan
uraian tersebut, dapat dijelaskan bahwa kehidupan agama Hindu di Bali sudah
berkembang sejak lama dan karateristik Hindu Dharma yang universal sejak
awalnya tetap dipertahankan dan diaplikasikan dalam kehidupan nyata yang
dikenal di Bali dengan ajaran Tri Hita Karana, yakni hubungan yang harmoni
dengan Tuhan Yang Maha Esa, dengan sesama dan dengan bumi serta lingkungannya.
TRADISI MEGIBUNG DI KARANGASEM
Sejumlah budaya dan
tradisi unik yang merupakan warisan dari leluhur atau masa lampau, masih
berkembang dengan baik menjadi sajian menarik pada era modernisasi kekinian.
Salah satu tradisi tersebut adalah acara makan bersama atau yang disebut
megibung di Kabupaten Karangasem Bali. Tradisi ini seolah tidak lekang oleh
waktu, hampir di setiap orang yang memiliki sebuah hajatan dan melibatkan
orang banyak, pada saat menikmati acara bersantap maka tradisi megibung ini
akan digelar. Bersantap bersama dengan cara Megibung ini memang sepertinya
lebih diminati oleh para warga di Karangasem dibanding mereka menikmati acara
bersantap ala prasmanan.
Kabupaten Karangasem
adalah kabupaten yang terletak di sisi paling Timur pulau Bali, selain tradisi
megibung adalah sejumlah tradisi unik bertahan lestari sampai sekarang ini
seperti tradisi Megeret Pandan (Mekare-kare) di Tenganan, Gebug Ende di Seraya
dan Ter-teran di Jasri. Karangasem juga memiliki banyak objek wisata menarik,
beberapa yang cukup populer adalah Candidasa, Besakih, rafting Telaga Waja,
Amed, Tirtagangga, Tulamben, Tenganan, Padangbai dan Taman Ujung. Industri
pariwisatanya berkembang dengan cukup baik, sehingga tidak ada salahnya jika
anda liburan ke Bali, juga mengagendakan jalan-jalan tour ke kawasan wisata
Bali Timur.
Tradisi
Megibung – Makan Bersama Di Karangasem
Budaya ataupun tradisi
megibung sebenarnya tidak hanya di Karangasem saja, namun ada pada sejumlah
tempat lainnya di Bali, bahkan juga beberapa tempat di pulau Lombok. Namun yang
memang masih melaksanakan tradisi ini dengan cukup baik adalah Kabupaten Karangasem,
dan hampir di semua wilayah kabupaten Karangasem atau Bali Timur ini
masih menggelar acara Megibung dalam sebuah hajatan dalam sebuah upacara adat
seperti saat acara pernikahan, potong gigi, otonan dan tiga bulanan anak,
melaspas, acara piodalan, bahkan saat upacara Ngaben. Termasuk juga saat-saat
acara gotong royong seperti membangun sebuah rumah warga yang melibatkan
tetangga dan kerabat, pada saat acara bersantap dengan cara megibung.
Jika anda belum
terbiasa dengan cara makan bersama ini tentunya akan merasa kikuk dan banyak
hal berkecamuk dalam pemikiran anda. Namun demikian dalam sebuah hajatan, tuan
rumah menyiapkan juga makanan prasmanan, sehingga para undangan bisa memilih
apakah mau pilih megibung ataupun prasmanan. Dan biasanya pada saat undangan
pernikahan dan acara resepsi, para undangan akan disuguhi hidangan prasmanan,
sedangkan para kerabat dan warga yang membantu dalam mengolah menyiapkan
makanan tersebut lebih menikmatinya dengan cara megibung.
Budaya dan tradisi
Megibung ini sejatinya sudah ada sejak lama pada jaman kerajaan Karangasem, dan
sampai sekarang masih terjaga lestari. Ada beberapa istilah dalam tradisi
megibung, seperti “sele” artinya bagian dari kelompok orang yang bergabung dan
duduk bersama untuk menikmati tradisi megibung, mereka biasanya duduk melingkar
dengan jumlah peserta sekitar 6 orang, kemudian istilah “gibungan” adalah
segepok nasi dengan alas gelaran (dari daun kelapa) dan ditaruh di atas dulang
atau nampan, ada istilah “karangan” ini adalah lauk pauk seperti lawar,
kekomoh, urab (nyuh-nyuh) putih dan barak, padamare, urutan, marus, balah dan
sate, jenis lauk pauk ini bervariasi sesuai kemampuan.
Dalam setiap sele
terdiri dari semua laki-laki atau perempuan mereka tidak berbaur, mereka duduk
mengelilingi sebuah gibungan dan karangan untuk makan bersama. Disiapkan air
untuk cuci tangan, kendi air minum yang sekarang banyak digunakan air minum
kemasan. Kemudian dalam sebuah sele ada satu orang yang bertugas untuk menaruh
atau menaikkan lauk dalam sebuah gibungan, itupun ada urutannya seperti kekomoh
dan urab terlebih dahulu, kemudian lawar, daging dan terakhir adalah balah.
Mempertimbangkan tempat atau arena dalam sebuah acara makan bersama megibung
ini, bisa sampai pada beberapa periode tergantung undangan yang datang, dalam
satu periode bisa terdiri beberapa dan bepuluh-puluh sele.
Acara makan bersama ini
memang unik, tidak ada perbedaan duduk dalam kebersamaan, biasanya yang datang
dalam satu hajatan berupa undangan adat adalah warga setempat, sehingga dalam
satu sele mereka sudah saling kenal, mereka makan bersama sesekali sambil
bersenda gurau dan bertukar pikiran, kesannya begitu santai, menambah
persahabatan dan lebih mengenal lagi, dan jika gibungan (nasi) yang dimakan
bersama habis adalah hal yang wajar untuk ditambah kembali, kalau lauknya
(karangan) tidak boleh. Sehingga makan bersama dengan cara megibung memastikan
pesertanya akan sangat puas, tidak ada rasa ragu ataupun malu untuk nambah
lagi.
Pada saat makan,
sebisanya agar tidak berceceran, apalagi berceceran di atas nampan tidak
diperbolehkan, sehingga kesannya tidak makan sisa ceceran makanan orang lain.
Andaipun makan berceceran itu harus diluar nampan. Walaupun tidak ada aturan
tertulis dalam tradisi atau acara megibung, maka peserta megibung juga tidak
boleh meludah, berdahak, bersin, berteriak, ketawa keras dan tata krama serta
sopan santun lainnya. Walaupun salah satu sudah kenyang, tidak boleh
meninggalkan tempat, mulai bersama-sama dan mengakhiri bersama-sama pula.
Apa yang dipaparkan di
atas tentang tradisi Megibung di Karangasem, itu adalah gambaran secara umum,
tentulah aturan dan tata cara ada yang sedikit berbeda karena perbedaan tempat,
kondisi dan waktu pelaksanaan. Jadi prinsip megibung adalah kebersamaan, lalu
bagaimana dengan orang-orang yang terkadang dicurigai memiliki ilmu hitam
ataupun yang mungkin punya penyakit menular, dalam kasus seperti ini oarang
dicurigai memiliki ilmu hitam maka kewajiban tuan rumah yang punya hajatan
akan menyiasati hal ini, untuk orang yang punya penyakit menular biasanya
mereka mengerti sendiri menyiasati diri dengan cara tidak ikut megibung, tetapi
makan sendiri, tetapi mereka tetap sah-sah saja ikut dalam rombongan satu sele,
karena inti dan tujuan adalah tidak ada perbedaan, mengutamakan kebersamaan dan
kesetaraan.
Untuk melestarikan
kegiatan atau tradisi Megibung ini, pada tanggal 26 Desember 2006, bupati
Karangasem kala itu yaitu Bapak I Wayan Geredeg, menggelar acara megibung
bersama di objek wisata Taman Ujung Karangasem, melibatkan komponen dan lapisan
masyarakat serta undangan sampai diikuti oleh 20.520 orang peserta dan tercatat
dalam rekor MURI.
Tata
Cara Pawiwahan di Desa Pakraman Batur
Pawiwahan atau perkawinan adalah salah
satu proses terpenting dalam kehidupan manusia, yang dalam bahasa Hindu disebut
sebagai Grehastha Brahmacari. Grehastha Brahmacari adalah bagian dari catur
asrama yang kedua, dimana memiliki tujuan untuk melanjutkan keturunan, hidup
bermasyarakat, serta melakukan yadnya untuk membayar hutang manusia yang berupa
Tri Rna. Aturan (tata cara perkawinan menurut Hindu tertuang pada Kitab Manawa
Dharmasatra yang merupakan kompodium hukum Hindu. Dalam Manawa Dharmasatra
(III.27-III.34), dijelaskan ada delapan jenis perkawinan, yaitu Brahma Wiwaha,
Daiwa Wiwaha, Arsa Wiwaha, Prajapati Wiwaha, Asura Wiwaha, Gandharwa Wiwaha,
Raksasa Wiwaha dan Paisaca Wiwaha. Dalam perkembangan Agama Hindu, sistem
perkawinan ini mengalami perkembangan, sehingga saat ini kita mengenal banyak
tata cara perkawinan yang berbeda di masing-masing daerah menurut desa, kala
dan patra (khususnya di Bali). Perkembangan ini pada umumnya selaras dengan
sistem yang telah ada menurut Weda. Di Bali bahkan hampir tak ada tata cara
yang benar-benar sama antar daerah. Salah satunya dapat kita lihat dalam tata
cara pawiwahan di Desa Pakraman Batur.
Secara umum di Desa Batur pelaksanaan sistem pawiwahan dapat digolongkan
menjadi empat macam yaitu:
a. Memadik (ngidih),
dilakukan dimana seorang laki-laki (purusa) datang ke rumah perempuan(pradana)
untuk meminang. Tata caranya sama seperti tata cara memadik pada
umumnya di Bali.
b.Ngerorod (kawin lari),
dimana dilakukan atas dasar suka sama suka antara purusa dan pradana.
c. Nyentana,
dilakukan bila terjadi pertukaran, dimana pradana yang meminang purusa. Jenis
belum ada yang dilakukan di Batur.
d. Perkawinan pada
gelahang, jenis ini merupakan jenis baru di Batur, dimana ditandai dengan
pasangan itu memiliki hak dan kewajiban yang sama di kedua orang tuanya. Namun
hal ini hanya bisa dilakukan jika pihak purusa dan pradana sama-sama tidak
memiliki saudara.
Dari
keempat jenis pawiwahan yang ada di Desa Pakraman Batur, semua pelaksanaannya
sama, hanya saja ada beberapa yang mengalami penambahan pelaksanaan, misalnya
jika menikah dengan orang dari luar desa ada istilah upacara metipat bantalan,
dan mengikuti pelaksanaan upacara di desa bersangkutan menurut adat desa
tersebut.
Pada
perkawinan ngerorod, saat purusa membawa pradana, pasangan itu harus
bersembunyi di rumah kerabat untuk beberapa saat. Sementara itu dari pihak
purusa mengirim utusan ke pihak pradana sejumlah dua orang yang tidak memiliki
hubungan kekeluargaan dengan mempelai, dinamakan pengandeg ngangken. Tugas
utusan ini untuk menyampaikan bahwa anaknya telah menikah, dengan menunjukan
surat keterangan kawin yang diketahui oleh kelian dinas banjar dari purusa.
Ngandeg ngangken memiliki arti:
-Ngandeg, berarti
menghambat
-Ngangken, berarti
menyampaikan
Setelah dinyatakan aman (tidak ada masalah dari pihak perempuan), dikirim
lagi dua utusan yang tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan kedua mempelai,
untuk melaksanakan piuning ke Pura Ulun Danu Batur. Setelah itu mempelai baru
bisa menuju ke rumah purusa untuk melakukan upacara pembersihan (pebiakaonan),
dan tidak diperkenankan keluar pekarangan selama 3 hari, jika melanggar akan
dikenai denda. Dua hari setelah upacara biakaonan, dilakukan upacara melepeh,
yaitu beberapa orang dari pihak purusa ke pihak pradana untuk meminta maaf atas
kesalahan dari pihak laki-laki karena telah melakukan kawin lari, dan agar
direstui. Selain itu juga menyatakan besoknya akan dilaksanakan proses
medharmasuaka. Setelah proses ini, proses mengikuti proses seperti biasa.
Tata
cara pelaksanaan pawiwahan secara umum meliputi tahap-tahap seperti berikut:
1.Mesedek, dilakukan oleh pihak laki-laki ke pihak perempuan, untuk menyatakan pelaksanaan medharmasuaka/ngidih. (pada proses nyentana terbalik, yaitu pihak perempuan yang datang ke pihak laki).
2. Medharmasuaka (mapengidihan), dilakukan proses secara resmi meminang perempuan oleh laki-laki, dihadiri oleh tokoh adat (bendesa), kelian banjar dinas kedua mempelai, orang tua dan sanak saudara. Pada saat selain pernyataan menikah secara resmi juga dilakukan musyawarah untuk memilih duasa (hari baik) untuk melakukan upacara mepragat (pada pawiwahan ngerorod, dilakukan setelah proses melepeh dan dilakukan juga kesepakatan status dari tidak boleh keluar menjadi boleh keluar pekarangan atau bebas ngenah). Proses ini menggunakan sarana banten pengraos dan pejati.
3. Mepragat (dilakukan pada hari yang telah ditentukan saat medharmasuaka), dilakukan proses mepejati di pura, yaitu di palinggihan I Ratu Gde Makolem.
Prosesnya meliputi:
a. Tiga
hari sebelum upacara mepragat dilakukan piuning (pemberitahuan) kepura yang
ditujukan ke Jro Mekel (tiga Desa Dinas Batur), kesinoman dan Jro Gde Batur
mekalihan, dengan sarana bakti pengendek.
b. Pada
pagi hari pelaksanaan pihak purusa dilakukan upacara:
- Pagi harinya
menghaturkan peratengan yang ditujukan kepada Jro Gde Batur makalihan, Jro
Mekel (ketiga Desa Dinas Batur), dan ke kesinoman. Serta meghaturkan tapakan,
dilengkapi nasi gibungan ke orang yang mencarikan duwasa (hari baik) dan
menghaturkan nasi gibungan ke pihak pradana.
-Melakukan upacara
mamitang pradana dari sanggah pradana, secara niskala, mempergunakan tapakan
pejati.
- Melakukan upacara
nyambut ulapin (biasanya dibuat sanggah lumbung yang ditopang oleh 4 batang
pohon dapdap, akan ditunas setelah 42 hari upacara), yang merupakan upacara
menyambut pradana ke purusa secara niskala. Selain itu, juga berfungsi sebagai
penyucian kedua mempelai. Sarana yang digunakan adalah ayam (ayam penyeladii)
sebagai simbol menyerap pikiran yang kotor. Banten yang digunakan adalah
tapakan pejati, yang dilengkapi canang tegeh.
c.Melakukan
proses mepelaku, yaitu proses meminta izin ke keluarga pradana. Pihak purusa
akan diterima di bale penyanggra. Proses ini sudah jarang dilakukan secara
formal dalam pelaksanaan pawiwahan di Batur.
d. Dilakukan
upacara di sanggah pradana, sebagai bentuk piuning, dengan banten tapakan
pejati dan canang tegeh(sebagai pelengkap)
e.
Melakukan upacara di pura-pura yang disungsung oleh mempelai. Mempergunakan
tapakan pejati dan banten lain sesuai aturan di masing-masing pura.
f. Melakukan upacara di Pura Ulun Danu Batur,
dihadapan Ida Ratu Gde Makolem. Dalam proses ini sebelum persembahyangan
dilakukan pembunyian kul-kul duwe sebanyak 16 kemplungan oleh Kesinoman
Bedanginan, dan pembayaran (netes) klaci yang dipungut oleh Kesinoman
Bedawanan, klaci yang dibayarkan seharga 2400 kepeng uang kepeng yang bisa
diuangkan. Sarana yang dipakai diproses ini adalah tapakan pejati, canang tegeh
(pelengkap), yang dibedakan dengan mempergunakan tumpeng (lambang purusa) dan
mempergunakan pangkonan(lambang pradana).
g. Melakukan upacara piuning di stana I Ratu Gde
Karang Buncing, yang dipuput oleh Jro Mekel atau bisa diwakili oleh Kesinoman
Bedanginan. Sarana yang digunakan adalah tapakan pejati, pangejeroan, canang
japit tunggal (dibuat oleh orang yang sudah menopause di malam hari), sesantun,
canang kampuh, dan canang matur sisip. Tujuan dari pelaksanaan ini adalah untuk
minta restu meminta karang dari leluhur. Palinggih I Ratu Gde Karang Buncing
seharusnya berada di rumah (merajan) Jro Mekel, namun akibat adanya tiga
perbekel dan tidak bersifat tetap, sehingga dilaksanakan di pura.
h.Melakukan upacara piuning di stana Ida Ratu Pujangga
Luwih (Pura Jati), yang bisa dilakukan setelah proses upacara atau bisa
dilakukan 3 hari setelah pelaksanaan upacara (diistilahkan dengan nutugang).
Mempergunakan banten tebasan dan tapakan pejati
4.Melaksanaan
upacara, di bale pesarean setelah datang dari pura untuk melakukan penyucian
tempat tidur.
5. Melakukan
upacara nguyahin pada malam harinya dari pihak purusa ke pradana. Di acara ini
pihak istri akan memperkenalkan sanak keluarga kepada suami dan keluarga
purusa. Acara ini mirip dengan upacara sungkem di tradisi pernikahan adat Jawa.
Biasanya pihak pradana akan melakukan kunjungan serupa pada hari berikutnya ke
keluarga pradana.
Setelah proses pawiwahan selesai, mempelai diwajibkan
untuk sesegera mungkin ngayah di adat, yang bias dimulai pada Galungan
terdekat. Bila tidak ngayah, masyarakat itu akan dikenakan sanksi adat. Tempek
(organisasi adat) yang pertama dimasuki adalah tempek jro batu, dimana jika
masyarakat merupakan masyarkat Batur bedanginan masuk ke jro batu dangin
rurung, dan jika masyarakat Batur bedawanan akan masuk ke tempek jro batu dauh
rurung. Mengingat masyarakat Batur tidak mengenal istilah kasta, namun
masyarakat dibagi menjadi dua bagian yaitu bedanginan dan bedawanan. Setelah
itu, bisa pindah tempek setelah melewati aling sedikit satu kali Galungan.
Dalam pewiwahan di Batur bilamana ada seorang wanita
yang menikah ke luar Batur, akan dikenakan sanksi berupa denda yaitu peklacian
ditambah setengah dan melaksanakan bakti pakandal.
Selain
itu, masyarakat Batur dilarang melakukan perkawinan jika:
1. Memisan
(masih bersepupu) tidak diperkenankan menurut Raja Purana Pura Ulun Danu Batur.
2. Mengawini
perempuan yang masih memiliki hubungan rerama (bibi), serta perempuan yang
masih memiliki silsilah lebih tinggi daripada laki-lakinya.
3. Melakukan
poligami bersaudara.
4. Siku
pala, yaitu melakukan perkawinan yang menyilang, dimana jika seorang adik atau
kakak yang menikahi kakak atau adik suami atau isterinya.
5. Melakukan
perkawinan dengan orang dari desa lain, misalnya batun sendi Ida Batari,
seperti dengan masyarakat Desa Bayung Gede.
Tradisi
Ngusaba Bukakak
Upacara Bukakak, salah satu budaya dan tradisi unik
yang hanya ada di Bali Utara, tepatnya di desa Adat Sangsit, Kecamatan
Sawan, Buleleng. Begitu banyaknya budaya warisa leluhur yang masih
terjaga dengan baik di Bali. Tujuan dari Upacara Bukakak ini untuk melakukan
permohonan kepada Sanghyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Dewi
Kesuburan agar diberikan kesuburan kepada tanah-tanah pertanian mereka supaya
hasil panennya berlimpah ruah. Tradisi ini hanya dilakukan di daerah Singaraja,
jika kebetulan anda sedang wisata di Bali dan melakukan perjalanan tour ke
daerah Bali Utara seperti Lovina anda bisa menyaksikan prosesi upacara ini
pada bulan April kalender Jawa atau bulan punama sasih
kedasa menurut kalender Bali.
Pengertian bukakak adalah babi guling yang
dibikin matang hanya bagian dada saja, upacara ini sudah dilakukan sejak zaman
dahulu dan masih terperihara hinggga sekarang, pada mulanya upacara ini
dilakukan 1 tahun sekali, namun karena terkendala biaya, akhirnya upacara ini
dilakukan setiap 2 tahun sekali.Prosesi ini mengarak bukakak dengan segala
perlengkapan upacaranya diiringi dengan gamelan Tik Nong, yang diyakini tempat
berstana dewi kesuburan, perjalanan arak-arakan ini lumayan jauh,
mengelilingi persawahan, dan kemudian menuju sebuah Pura desa tempat berstana
Dewi Sri/ dewi kesuburan. Pengusung bukakak sendiri dibagi menjadi 2 kelompok,
untuk pengusung bukakak harus sudah dewasa/ menikah dan pengusung sarat alit
para remaja.
Keanehan muncul saat upacara bukakak berlangsung,
setelah diperciki air suci para pengusung bukakak seperti dirasuki kekuatan
yang melebihi kekuatan manusia normal, para pengusung buakakak ini mengaum,
sepertinya kemasukan roh dan tidak lazim.
Persiapan yang dilakukan dalam upacara Ngusaba Bukakak
ini,
·
Pembersihan
upacara perlengkapan
·
Membuat Dangsil
bersegi empat, dari pohon pinang, dengan rangkaian bambu dihiasi dengan daun
enau tua dirangkai dengan bambu, dihiasi daun enau tua, dibuat bertingkat yang
melambangkan Tri Murti (Dewa Brahma, Wisnu dan Siwa)
·
Mengadakan upacara
Ngusaba di pura yang terdapat di desa setempat
·
Upacara Gedenin di
pura Subak.
Tradisi Budaya Bali
Tradisi
Mageret Pandan
Tradisi
sakral Bali Aga ini menggunakan pandan berduri dan sangat tajam ini adalah unik
dan menurut ramagita, Tradisi Mageret pandan atau Perang Pandan
(Mekare-kare) dilakukan selama tiga hari dan juga tradisi ini merupakan sarana
latihan ketangkasan seorang prajurit dalam masyarakat Tenganan sebagai
penganut Agama Hindu aliran Dewa Indra sebagai Dewa Perang.Yang terpenting dalam perang pandan
tersebut tidak ada menang kalah. Kalau ada yang sampai terluka akibat goresan
pandan akan diobati dengan obat yang telah disediakan yang berasal dari cuka
kunir dan isen. Tak heran jika Perang pandan ini menjadi tontonan menarik bagi
wisatawan lokal dan mancanegara.
Kepercayaan
warga Tenganan agak berbeda dengan warga Bali pada umumnya dimana Umat Hindu
Bali yang menjadikan Tri Murti sebagai dewa tertinggi.
Namun bagi warga Tenganan, Dewa Indra sebagai dewa perang adalah dewa dari
segala dewa.
Tradisi
Mekepung
Sejarah
Tradisi / Atraksi Mekepung di Jembrana Bali dikembangkan pertama kali sekitar
tahun 1930 dengan joki berpakaian seperti prajurit istana. Mereka bertelanjang
kaki, mengenakan gaun kepala, syal, rompi, dan celana panjang dengan pedang
yang dibungkus kain bermotif kotak-kotak di pinggang. Karena pakaian joki yang
dikenakan selalu kotor setelah mekepung di sawah berlumpur, maka mereka pindah
ke jalan tanah dekat sawah.
Mekepung juga berarti
kejar-kejaran, inspirasi berasal dari kegiatan petani pengolahan sawah mereka
sebelum mereka menanam benih padi yang bajak lahan basah ke dalam lumpur dengan
menggunakan bajak tradisional.
Bajak ditarik oleh dua
ekor kerbau, kerbau mengenakan alat dekoratif seperti lonceng kayu, sehingga
ketika kerbau berjalan menarik bajak akan terdengar suara seperti musik.
Tradisi
Omed-Omedan
Merupakan
tradisi / festival ciuman massal usai Hari Raya Nyepi di Bali yang
dilaksanakan setiap tahun sekali sebagai warisan leluhur yang dilestarikan
sampai saat ini.
tradisi yang unik yaitu Festival Omed – ciuman antara laki dan perempuan satu desa yang tepatnya dilaksanakan di Banjar Kaja Desa Sesetan Denpasar Bali.
Setiap tahun, setidaknya 50 orang muda yang telah dewasa yang berpartisipasi dalam festival turun temurun ini ini.
Festival dimulai dengan doa di Banjar dan semua peserta harus mengikuti prosesi menjadi lancar dan keselamatan saat berciuman kemudian.Pada saat berdoa orang-orang muda dibagi menjadi dua kelompok. Yang pertama kelompok laki laki, dan yang lainnya adalah kelompok perempuan.
tradisi yang unik yaitu Festival Omed – ciuman antara laki dan perempuan satu desa yang tepatnya dilaksanakan di Banjar Kaja Desa Sesetan Denpasar Bali.
Setiap tahun, setidaknya 50 orang muda yang telah dewasa yang berpartisipasi dalam festival turun temurun ini ini.
Festival dimulai dengan doa di Banjar dan semua peserta harus mengikuti prosesi menjadi lancar dan keselamatan saat berciuman kemudian.Pada saat berdoa orang-orang muda dibagi menjadi dua kelompok. Yang pertama kelompok laki laki, dan yang lainnya adalah kelompok perempuan.
Dalam
sejarahnya, Tradisi Omed-omedan dimulai pada abad ke-17. Sebelumnya tradisi ini
dilakukan pada hari Nyepi, namun pada tahun 1978 diputuskan untuk menggantinya
pada saat Ngembak Geni, atau sehari setelah Nyepi. “Tradisi ini hanya untuk
meluapkan kegembiraan teruna Teruni pada saat hari omed omedan
Ngembak-geni,” kata I Gusti Ngurah Oka Putra, Toko Banjardi daerah Sesetan.
Tradisi Perang Siat
Sampian
Tradisi yang dilaksanakan setiap tahun sekali di Pura Samuan Tiga ini juga menarik perhatiann wisatawan asing, demikian dikutip dari artikel perang sampian di Pura Samuan Tiga. Juga dalam kutipan artikel tersebut dijelaskan pula bahwa, sebelum tradisi ini dimulai, dilakukan upacara Nampiog, Ngober dan Meguak-guakan. Dalam upacara ini, ratusan warga mengelilingi areal pura sambil menggerak-gerakkan tangan mereka seperti burung gagak (goak).
Tradisi yang dilaksanakan setiap tahun sekali di Pura Samuan Tiga ini juga menarik perhatiann wisatawan asing, demikian dikutip dari artikel perang sampian di Pura Samuan Tiga. Juga dalam kutipan artikel tersebut dijelaskan pula bahwa, sebelum tradisi ini dimulai, dilakukan upacara Nampiog, Ngober dan Meguak-guakan. Dalam upacara ini, ratusan warga mengelilingi areal pura sambil menggerak-gerakkan tangan mereka seperti burung gagak (goak).
Prosesi
ini diikuti oleh para permas atau ibu-ibu yang sudah disucikan. Selain ibu-ibu,
para pemangku pura setempat juga ikut mengelingi areal Pura. Setelah prosesi
ini selesai dilanjutkan dengan upacara Ngombak. Pada upacara ini para wanita
yang berjumlah 46 orang, serta laki-laki atau sameton parekan yang juga sudah
disucikan berjumlah 309 orang melakukan upacara Ngombak (melakukann gerakan
seperti ombak).
Upacara
ini dilakukan dengan cara berpegangan tangan satu sama lainnya, kemudian
bergerak laksana ombak. Setelah usai upacara ini, para laki dan wanita tersebut
langsung mengambil sampian (rangkaian janur untuk sesajen) dan saling pukul
serta lempar atau perang dengan sampian satu sama lainnya.
0 komentar:
Post a Comment